Di sebuah kampung kecil bernama Kalisemut, ada sebuah warung kopi yang sudah berdiri sejak zaman Orde Baru. Pemiliknya bernama Paklik Jumadi, lelaki berusia enam puluh tahun yang perutnya lebih bulat daripada kendil, rambutnya lebih putih daripada kapur, tapi suaranya selalu lantang seperti toa masjid yang rusak. Warungnya sederhana: hanya bangku panjang, meja kayu yang goyang kalau ditopang sebelah, dan genteng yang bocornya hafal titik-titiknya.
Meski tampak reyot, warung itu selalu penuh. Alasannya sederhana: kopi Paklik Jumadi selalu terasa lebih enak kalau diminum sambil mendengar ocehannya. Kadang ocehan itu soal politik, kadang soal mantan lurah yang dulu kabarnya lari ke kota karena utang, kadang soal harga cabai yang naik turun seperti perasaan jomblo.
Pagi itu, seperti biasa, warung dipenuhi lelaki kampung yang baru pulang dari sawah. Ada Paijo, petani muda yang terkenal lugu; Sukir, tukang ojek sekaligus komentator tak resmi untuk semua urusan; dan Mbak Darmi, janda galak yang selalu datang hanya untuk numpang kipas di depan anglo.
“Paklik, kopinya satu. Jangan pakai banyak gula, nanti aku kayak hidupku—manis di depan, pahit di belakang,” kata Paijo sambil nyengir.
Semua orang tertawa, kecuali Mbak Darmi yang cuma melotot.
Konflik Membangun
Hari itu sebenarnya biasa saja, sampai tiba-tiba sebuah kabar heboh beredar di kampung. Katanya, akan ada lomba kebersihan tingkat kecamatan. Hadiahnya bukan main: piala, piagam, dan foto di koran lokal. Bagi orang kota mungkin itu sepele, tapi bagi warga Kalisemut, bisa masuk koran lebih berharga daripada masuk TV, karena kalau masuk TV biasanya kasusnya kriminal.
Paklik Jumadi, entah kenapa, mendadak bersemangat. Ia merasa warungnya adalah pusat peradaban kampung.
“Kalau warungku kelihatan jorok, nama kampung ikut jatuh. Aku nggak mau jadi penyebab malu,” katanya sambil menepuk perutnya sendiri.
Masalahnya, warung itu memang jorok luar biasa. Kipas anginnya sudah lebih mirip saringan ikan, gelasnya ada bekas bibir menahun yang tak hilang meski digosok pakai sabut kawat, dan di pojokan ada kucing kampung yang sudah seperti pelanggan tetap.
Warga kemudian sepakat: sebelum tim penilai datang, warung Paklik Jumadi harus dibenahi.
“Kalau warungmu bersih, nilai kampung naik. Kalau nggak, kita semua kalah,” ujar Sukir dengan gaya serius, meski hidungnya belepotan kopi.
Paklik Jumadi manggut-manggut, tapi wajahnya ragu.
“Ngopo kowe kabeh nggak ngerti? Aku ini kalau warungnya bersih, pelanggan malah ilang. Orang-orang seneng nongkrong di sini karena apa adanya. Kotor itu identitas!”
Kalimat itu membuat warung hening beberapa detik, sebelum semua orang meledak tertawa. Namun dalam hati, Paklik tahu dirinya tak bisa melawan arus.
Perjalanan Menuju Klimaks
Mulailah operasi besar-besaran. Paijo ditugaskan mengecat tembok, meski akhirnya ia lebih banyak mengecat mukanya sendiri. Sukir diminta memperbaiki kursi patah, tapi justru membuat kursi itu lebih goyah daripada sebelumnya. Mbak Darmi bertugas membersihkan dapur, namun malah menemukan surat cinta lama yang ditulis Paklik Jumadi untuk almarhumah istrinya—dan tentu saja membacanya keras-keras di depan semua orang, membuat Paklik kabur ke belakang sambil menutupi wajah dengan kain lap.
Kampung pun riuh. Ada yang bilang warung itu berubah jadi proyek nasional, ada pula yang sinis: “Bersih kayak apapun, tetep kalah sama kampung tetangga. Mereka punya taman bunga, kita punya kucing kurap.”
Namun justru di tengah kekacauan itu, muncul sisi lain dari Paklik Jumadi. Ia yang biasanya cuma suka bercanda, kali ini tampak serius. Malam-malam ia diam-diam mengepel lantai, merapikan gelas, bahkan menempel poster jadul “Hidup Sehat, Tanpa Rokok” meski separuh pelanggan warungnya perokok berat.
“Aku cuma nggak mau kalian malu karena warung ini,” katanya lirih ketika suatu malam Paijo memergoki.
Hari penilaian pun tiba. Tim juri dari kecamatan datang dengan mobil dinas yang bannya nyaris kempes. Semua warga berkumpul di depan warung, berdandan rapi seperti mau kondangan.
Warung yang biasanya berantakan kini bersih berkilau. Meja disusun sejajar, kursi dipaku ulang, bahkan kucing kurap sudah dipindahkan sementara ke rumah tetangga.
Paklik Jumadi menyambut dengan gaya kebanggaannya: sarung digulung, kaos oblong lawas, dan peci miring. Ia menyuguhkan kopi dengan tangan gemetar tapi senyum lebar.
Namun tiba-tiba—tragedi kecil terjadi. Gelas kopi yang disajikan tumpah ke baju putih salah satu juri. Panik melanda. Paijo salah tingkah, Sukir mencoba mengelap tapi malah menambah noda, sementara Mbak Darmi menjerit-jerit menyalahkan siapa saja.
Paklik Jumadi pucat. Semua usahanya seolah sia-sia. Ia merasa sudah menjatuhkan nama kampung.
Klimaks Menyentuh
Namun siapa sangka, juri yang terkena tumpahan kopi itu justru tertawa.
“Paklik, ini warung paling hidup yang pernah saya lihat. Bersihnya boleh kalah, tapi suasananya menang besar. Orang kampung kalian saling membantu, tertawa bareng, bahkan ribut bareng. Itu nilai yang tak bisa dibeli dengan cat atau bunga.”
Semua orang terdiam. Kata-kata itu bagai petir di siang bolong. Paklik Jumadi yang biasanya cerewet justru menitikkan air mata.
“Sampeyan serius, Pak? Warung jelekku ini… ada nilainya?”
“Sangat. Justru karena apa adanya. Di sinilah kebersihan hati terasa lebih kuat daripada kebersihan lantai.”
Warga bersorak. Anak-anak kecil berlari keliling warung, orang-orang dewasa menyalami juri, dan Paklik Jumadi mendadak jadi pahlawan.
Akhirnya, kampung Kalisemut memang tidak mendapat juara satu. Mereka hanya dapat juara harapan, lengkap dengan piagam kecil. Tapi bagi warga, itu lebih dari cukup. Karena untuk pertama kalinya, mereka merasa punya alasan tertawa bersama, bukan hanya menertawakan nasib.
Dan sejak hari itu, warung kopi Paklik Jumadi semakin ramai. Orang-orang tak datang lagi hanya untuk kopi murahnya, tapi juga untuk merasakan kehidupan yang hangat, kocak, dan penuh cerita.
Penutup yang Memberi Kesan
Suatu malam, ketika warung mulai sepi, Paijo bertanya pada Paklik:
“Paklik, sampeyan bahagia nggak? Warung ini jadi bahan cerita sekampung.”
Paklik terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menatap langit-langit yang masih bocor.
“Bahagia, Jo. Sebab ternyata, yang membuat hidup ini lucu bukan karena kita tak punya masalah. Justru karena kita bisa ketawa bareng-bareng, meski masalah datang tiap hari.”
Paijo mengangguk, meski mungkin tak sepenuhnya paham. Di luar warung, suara jangkrik bersahut-sahutan, seakan mengiringi tawa kecil yang lahir dari ruang sederhana itu.
Dan begitulah, warung kopi reyot di pojokan kampung tetap menjadi saksi bahwa komedi kehidupan bukan soal panggung megah atau acara televisi—melainkan tentang bagaimana manusia saling menghibur, meski dengan cangkir kopi yang retak sekalipun.