“Baru aja semalem kita video call, masa sih besoknya udah nggak ada?”
Kalimat itu terus muter di kepala gue sejak tadi pagi. Bahkan sampai sekarang, jam setengah dua malam, gue masih duduk di ruang tamu yang udah dingin banget, ngelamun sambil natap layar HP yang dari tadi nggak gue matiin. Chat terakhirnya masih nongol di sana.
“Jangan lupa makan ya, Naya. Nanti kalau sakit, aku marah.”
Dikirim jam 23.14. Tepat lima jam sebelum semuanya berubah.
Gue, Naya. Biasa aja sih, anak akhir-akhir kuliah yang setengah hidup di dunia nyata, setengahnya lagi di dunia maya—terutama Facebook. Gue nggak terlalu aktif di Instagram atau TikTok kayak kebanyakan temen-temen gue. Entah kenapa Facebook selalu jadi tempat yang bikin gue ngerasa… lebih deket. Lebih akrab. Mungkin karena di situlah semuanya dimulai.
Termasuk pertemuan gue sama dia.
Bagas.
Cowok biasa yang nggak banyak gaya, tapi punya cara aneh bikin gue senyum tiap hari. Kita ketemu di kolom komentar grup alumni SMA, waktu itu lagi rame bahas reuni. Gue nulis komentar sotoy soal makanan, dia bales sambil nyindir. Gitu aja. Lalu DM-an. Terus jadi kebiasaan. Sampai akhirnya tiap malam ngobrol di Messenger kayak orang pacaran, padahal… ya, nggak pernah benar-benar nembak.
“Statusnya apa dong? Temenan spesial?” gitu kadang gue becandain. Dia cuma senyum, kirim stiker beruang peluk-peluk. Tapi dari cara dia nanya kabar tiap pagi, ngingetin makan siang, nemenin gue ngerjain skripsi via video call, sampe ngirimin lagu di tengah malam — gue tau, rasa itu ada.
Cuma belum sempet diucapin.
Pagi itu, notifikasi Facebook bangunin gue. Tapi bukan dari dia.
“Turut berduka cita atas kepergian sahabat kita, Bagas Pratama.”
Gue kira bercanda. Gue kira akunnya kebajak. Tapi makin banyak status muncul di beranda, makin nyata kenyataan itu nusuk.
Gue masih duduk bengong waktu telpon dari salah satu temen SMA masuk. Suaranya gemetar. “Nay… Bagas kecelakaan. Motorannya tadi subuh. Dia meninggal di tempat.”
Dunia kayak berhenti. Gue bahkan nggak nangis. Nggak bisa.
Yang bisa gue lakuin cuma buka profil Facebook-nya.
Dan di sana, tepat satu jam sebelum dia pergi, dia nulis status.
“Kalau aku nggak sempat bilang langsung, tolong sampaikan ke Naya… aku suka dia. Dari dulu. Dari pertama kali kita debat soal cilok di kolom komentar.”
Gue baca itu berkali-kali. Jantung gue kayak diperas.
Namaku. Di status terakhirnya.
Dan gue bahkan belum sempat bilang kalau gue juga punya rasa yang sama.
Tiga hari berlalu. Rumah duka udah sepi. Facebook-nya masih ada. Tapi udah sunyi. Orang-orang udah berhenti komen. Tapi gue?
Gue masih ke situ tiap malam. Buka fotonya. Baca ulang chat-nya.
Sampai suatu malam, jam 2.05, muncul notifikasi.
“Bagas Pratama menandai kamu dalam status.”
Gue kaget. Gue buka langsung. Tapi nggak ada apa-apa.
Nggak ada status baru. Nggak ada update.
Cuma satu hal berubah. Di bio-nya.
Tertulis:
“Aku kangen kamu, Nay.”
Gue mulai panik. Logikanya, akun itu udah nggak aktif. Keluarganya bilang mereka belum sempat hapus atau buka. Tapi siapa yang nulis bio itu?
Gue coba mikir positif. Mungkin emang ada yang login, keluarganya, temennya, gue nggak tau. Tapi malam berikutnya… hal yang sama kejadian lagi. Kali ini, gue dapet pesan.
Dari Bagas.
“Aku cuma pengen tahu, kamu beneran suka aku juga?”
Gue ngerasa merinding. Bukan takut… tapi kayak ditarik ke dua dunia. Logika bilang, nggak mungkin. Tapi hati gue bilang, ini dia.
Gue balas.
“Iya, Gas. Aku suka. Dari dulu juga.”
Lalu… gak ada balasan. Tapi sejam kemudian, satu status muncul.
“Terima kasih. Sekarang aku bisa tenang.”
Setelah itu, akunnya bener-bener gak pernah aktif lagi.
Gue gak cerita ke siapa-siapa. Siapa juga yang percaya?
Tapi buat gue, malam itu jadi titik akhir dan sekaligus awal.
Akhir dari penantian tanpa pengakuan.
Awal dari menerima kenyataan.
Beberapa hari kemudian, gue tulis satu status. Di Facebook juga.
Gak pakai panjang lebar.
Cuma satu kalimat.
“Seseorang yang gak sempat gue peluk, tapi selamanya tinggal di hati.”
Orang-orang komen. Temen lama, sahabat, keluarga. Banyak yang kirim pelukan virtual. Tapi di antara semua komentar itu, ada satu yang bikin gue berhenti napas sesaat.
Akun Bagas nge-like status gue.
Entah bug. Entah halusinasi. Tapi setelah itu, gak pernah kejadian lagi.
Sekarang, dua tahun udah lewat. Facebook jadi tempat yang beda buat gue. Bukan cuma platform nostalgia, tapi jadi tempat gue ‘bertemu’ Bagas untuk terakhir kalinya. Kadang, gue masih buka chat lama kita. Kadang senyum, kadang netes air mata.
Dan setiap kali Facebook ngingetin “kenangan hari ini” dan munculin postingan dia, gue ngerasa… dia belum benar-benar pergi.
Mungkin ada cerita yang nggak butuh ending sempurna. Cuma butuh dikenang, dengan tulus.
Penutup
Bagas gak pernah nembak gue. Tapi dia tulis nama gue di status terakhirnya.
Dan mungkin, buat hati yang udah terlalu lama saling ngerti tanpa suara, itu lebih dari cukup.