Namaku Mega Mikasari. Usia 31 tahun. Aku seorang janda dengan tiga anak: Bijak, anak pertamaku yang kalem dan dewasa di usianya yang 16 tahun; Danis, anak tengah yang sering menjadi penghibur rumah ini; dan si bungsu Sanum, putri kecil yang menjadi alasanku bertahan bahkan saat dunia seolah ambruk.
Aku tidak pernah bermimpi menjadi ibu tunggal. Tapi hidup tidak selalu menuruti rencana.
Pernikahanku dulu… indah di awal, tapi hanya di awal. Aku pernah mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar memilih untuk tinggal. Yang meninggalkanku di titik paling rapuh dalam hidupku—dengan luka yang harus kusembuhkan sendiri, dan tiga anak yang harus tetap kuberi makan, pelukan, dan masa depan.
Aku bekerja sebagai penata rias rumahan di Purbalingga. Dari make up manten sampai make up wisuda. Dari kontrakan kecil yang jadi saksi tumpahnya air mata dan tawa, aku menjalani hidup pelan-pelan—tanpa banyak harap.
Sampai suatu hari, semesta seperti mengetuk pelan pintu hatiku yang sudah lama kututup rapat.
Namanya Purwono
Grup WhatsApp “Wali Murid Kelas 10 IPA SMA Padamara” awalnya hanya tempat formal. Sampai pagi itu muncul pesan:
Purwono: “Assalamualaikum, saya Purwono, ayahnya Chaca, murid pindahan dari Semarang. Mohon bimbingannya ya, Bapak/Ibu.”
Namanya tidak asing. Entah kenapa terasa dekat. Aku buka foto profilnya: pria berkemeja biru, dengan mata teduh dan senyum yang… entah kenapa membuatku merasa tenang.
Beberapa hari setelahnya, kami mulai saling balas komentar di grup. Lalu perlahan berpindah ke ruang pribadi. Dan dari obrolan ringan, aku mulai mengenal seorang pria yang sudah lama kehilangan istrinya karena kanker, dan kini membesarkan Chaca sendirian.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertemu seseorang yang tidak menjanjikan bulan, tapi menawarkan pundak. Yang tak pernah mengusik lukaku, tapi diam-diam menjaganya.
Luka yang Belum Sembuh
Purwono tak pernah bicara cinta dengan kata-kata manis. Tapi caranya hadir membuat hatiku perlahan luluh.
Ia datang saat motorku mogok, tanpa kutelpon. Ia menyelipkan roti dan susu di tas sekolah Danis saat tahu aku belum sempat belanja. Ia mengantar Sanum ke TK saat aku harus makeup pengantin pagi-pagi sekali.
Chaca pun cepat akrab dengan Bijak dan Danis. Bahkan Sanum memanggilnya “Kak Caca” dengan nada manja.
Di antara semua ini… aku mulai takut.
Aku takut bahagia lagi.
Karena luka itu masih ada. Kadang aku bertanya sendiri di malam sunyi: “Apa aku pantas bahagia lagi? Apa ini hanya fatamorgana?”
Dan di saat hatiku mulai belajar percaya, masa lalu datang seperti hantu yang belum tenang.
Mantan suamiku berdiri di depan gerbang sekolah. Dengan senyum memelas yang dulu kupikir pernah kucintai.
“Mega, aku pengin pulang. Demi anak-anak…”
Tanganku gemetar. Tapi hatiku sudah tak buta.
Aku menatapnya tajam dan menjawab pelan, tapi pasti:
“Kamu bukan pulang. Kamu hanya datang karena tidak punya tempat lain. Anak-anak nggak butuh ayah yang datang karena kalah. Mereka butuh laki-laki yang hadir saat dibutuhkan. Dan itu… bukan kamu.”
Curug Sumba dan Pernyataan yang Lain dari Biasanya
Beberapa minggu setelah itu, kami pergi ke Curug Sumba. Aku, Purwono, anak-anak kami—lima hati yang pernah patah, kini duduk di antara suara air terjun dan aroma tanah basah.
Anak-anak tertawa bermain air. Dan kami berdua duduk di atas batu, diam sebentar, sampai Purwono menoleh dan berkata:
“Mega… aku nggak akan bilang aku cinta. Karena cinta itu kata yang sering disalahgunakan. Tapi aku tahu rasa kehilangan. Dan aku tahu rasanya bertahan hidup hanya karena anak.
Aku nggak pengin menggantikan siapa-siapa. Aku cuma pengin berdiri di sampingmu. Nggak lebih tinggi, nggak lebih rendah. Cuma berdiri… bareng kamu.”
Tangisku pecah. Tapi bukan karena sedih. Air mata itu adalah tanda… aku sudah lelah sendirian.
Akhir yang Tenang, Tapi Penuh Kehangatan
Hari ini, dua tahun setelah hari itu, aku menulis kisah ini dari ruang tengah rumah kecil kami yang baru. Bukan mewah, tapi nyaman. Bukan besar, tapi hangat.
Bijak kini sudah SMA Kelas 11. Danis makin cerewet, seperti biasanya. Sanum makin mirip aku—keras kepala tapi penuh peluk. Chaca seperti sulung perempuan yang tak pernah kupunya. Dan ia memanggilku “Bunda”, seolah aku memang sudah ditakdirkan untuk mengasihinya.
Purwono kini duduk di sebelahku, membaca koran sambil sesekali menyesap teh melati yang kubuat. Kami tidak banyak bicara. Tapi diam kami selalu penuh makna.
“Kamu bahagia?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil menatap langit malam.
“Aku dulu kira cinta itu tentang siapa yang pertama hadir… Tapi ternyata, cinta sejati itu tentang siapa yang datang untuk tinggal dan nggak pergi lagi.”
Dan malam Purbalingga menyelimuti kami dengan suara jangkrik dan hembusan angin yang lembut.
Hatiku tenang. Lukaku tak hilang, tapi sudah tidak lagi perih.
Karena akhirnya… aku tahu rasanya dicintai tanpa diminta untuk sempurna.
Dan endingnya adalah Cekicroot dan Jadi Dede baru😎