“Kamu nggak capek jadi penyuka diam-diam, Na?”
Kalimat itu masih terngiang di kepala Hana, meski sudah tiga hari berlalu sejak Reza—sahabatnya sendiri—mengatakannya sambil tertawa kecil di bawah lampu kafe yang temaram. Hana hanya mengangguk sambil tersenyum, padahal hatinya seperti kaca yang pecah perlahan.
Postingan itu…
Satu foto. Satu momen. Dan segalanya berubah.
Hana bukan siapa-siapa di Instagram. Akunnya pun terkunci, hanya berisi foto-foto bunga, secangkir kopi, dan kadang selfie dengan keterangan sok bijak. Jumlah followers-nya tidak sampai seribu. Tapi ada satu hal yang selalu dia lakukan sejak dua tahun lalu: menunggu seseorang memposting sesuatu.
Namanya Bima. Cowok yang dulu duduk dua baris di depan Hana saat kuliah. Tidak pernah benar-benar akrab. Tapi mereka follow-followan di Instagram sejak masa ospek, dan entah kenapa, sejak lulus, Hana jadi sering melihat feed-nya—meski hanya sebagai penonton yang tak pernah berani menyapa.
Bima bukan selebgram. Tapi fotonya selalu punya atmosfer yang… hidup. Pemandangan pagi, anak kecil tertawa, ibu tua menyiram tanaman, dan kadang selfie dengan rambut awut-awutan dan caption lucu. Entah kenapa, setiap kali Bima posting, Hana merasa ada aliran hangat yang menyelinap di sela-sela hatinya yang sepi.
Sampai suatu malam, Bima mengunggah foto sederhana: sepasang sepatu tua di depan rumah, dengan caption, “Dari kecil sampai sekarang, masih setia nemenin jalan.”
Entah dorongan dari mana, Hana membalas story itu.
“Sepatunya kayak hati ya… udah lecet-lecet tapi masih dipakai.”
Dia kirim, lalu langsung meletakkan HP dan menyesal. Jantungnya berdetak tak karuan.
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul.
Bima:
“Hahaha… itu kalimat paling nyentuh yang aku terima minggu ini. Kamu puitis juga, ya.”
Dan sejak saat itu, mereka mulai sering bertukar pesan.
Tiga bulan sudah berlalu sejak percakapan pertama itu. Obrolan-obrolan kecil yang awalnya hanya seputar foto dan caption, berkembang menjadi cerita keseharian. Hana mulai tahu kalau Bima suka ngopi hitam tanpa gula, kalau dia pernah kehilangan ayahnya setahun lalu, dan kalau alasan dia sering posting tentang orang tua adalah karena rasa rindunya yang tak pernah usai.
Hana juga mulai berubah. Dia jadi lebih percaya diri. Caption Instagram-nya lebih berani. Bahkan sesekali, dia mengunggah foto wajahnya dengan senyum tulus—bukan lagi pose yang kaku. Followers-nya bertambah. Banyak yang menyukai gaya tulisannya yang “nyentuh tapi nggak lebay”, kata mereka.
Namun, satu hal tetap sama: hubungan mereka tak pernah melewati batas DM.
Hana selalu takut berharap. Dia tahu, Bima punya dunia sendiri. Di Instagram, kadang dia terlihat dekat dengan perempuan lain. Belum pernah ada yang di-tag secara resmi, tapi Hana cukup peka membaca bahasa tubuh dari setiap foto.
Suatu hari, semuanya berubah lagi.
Bima memposting sebuah foto. Kali ini bukan panorama, bukan kopi, bukan selfie. Tapi seseorang.
Seorang perempuan sedang berdiri di bawah pohon sakura buatan di sebuah café, dengan senyum hangat dan tatapan penuh cinta.
Caption-nya:
“Postingan ini nggak buat viral, cukup buat dikenang. Orang yang diam-diam bikin hidupku lebih ringan.”
Dan untuk pertama kalinya, Bima menyertakan tag akun.
@hananurrahmah
Hana tak percaya matanya. Tangannya bergetar saat membaca notifikasi itu. Dalam hitungan menit, like membanjiri. DM-nya penuh. Teman-teman bertanya, “SERIOUS KAMU SAMA DIA???”
Tapi Hana tak menjawab satu pun.
Dia hanya menatap layar. Lama. Menarik napas dalam-dalam. Jantungnya seperti ingin melompat keluar dari dada. Antara bahagia dan… takut.
Lalu HP-nya berdering. Panggilan masuk dari Reza.
“Na…,” suara di seberang terdengar berat, “Kamu yakin mau semua orang tahu sekarang?”
Hana terdiam.
“Aku cuma takut, kamu terlalu berharap dari dunia yang semu ini. Instagram bukan kenyataan penuh, Na…”
“Tapi kadang… dari situ juga kita tahu, siapa yang berani menunjukkan kenyataannya,” jawab Hana lirih.
Ternyata, cinta tak melulu datang dari pertemuan fisik. Kadang, ia tumbuh dari like, dari balasan story, dari caption yang tak pernah sengaja dibuat untuk gombal.
Beberapa hari setelah postingan itu viral kecil-kecilan di antara teman-teman mereka, Bima mengajak Hana ketemuan untuk pertama kalinya sejak lulus.
Di sebuah café yang sama seperti di foto, Bima menatap Hana dan tersenyum.
“Aku nunggu kamu balas story waktu itu karena aku juga naksir kamu dari dulu, Na. Tapi kamu terlalu diam. Aku pikir kamu nggak tertarik.”
Hana tertawa kecil, sambil menyesap kopinya. “Aku pikir kamu yang nggak pernah lihat aku.”
Bima menggeleng. “Postingan kamu… waktu kamu upload bunga kamboja dan bilang ‘rinduku gugur setiap pagi tapi tumbuh lagi sore harinya’ — itu bikin aku jatuh cinta, Na.”
Mereka saling pandang. Tak ada kata-kata manis berlebihan. Tak ada janji palsu. Hanya dua manusia yang selama ini saling melihat dalam diam, akhirnya saling menyapa.
Setahun kemudian.
Hana masih aktif di Instagram. Tapi kini, isinya bukan hanya tentang kopi dan bunga. Ada foto-foto perjalanan mereka. Senyum. Pelukan. Dan sesekali, caption tentang jatuh cinta yang terasa ringan, hangat, dan nyata.
Salah satu postingan yang paling banyak disukai adalah foto tangan mereka berdua yang saling menggenggam di atas meja kayu.
Caption-nya:
“Postingan fotomu yang membuat aku jatuh cinta…
Sekarang aku ingin mengisi feed-mu dengan cerita kita.”
Dan di kolom komentar, Bima membalas:
“Sudah tak diam-diam lagi.”