Langit pagi di desa kecil di Purbalingga itu belum sepenuhnya terang. Tapi suara knalpot tua angkot milik Rasmono sudah meraung-raung dari ujung jalan. Lelaki berusia dua puluh empat tahun itu, dengan jaket lusuh dan celana Cutbray, mengelap keringat dari dahinya.
Hari ini jadwalnya penuh — mengantar penumpang dari desa ke terminal, lanjut kuliah di Purwokerto, malamnya bantu LSM menyusun laporan kasus kekerasan rumah tangga.
“Mpruput Tenan Mas Mono?”
Teriakan Pak RW dari pos ronda menyapa.
Rasmono membalas dengan anggukan dan senyum kecil. “Nggih, Pak. Tak kejar kuliah jam sepuluh.”
Tak ada yang menyangka, lelaki pengemudi angkot dengan senyum percaya diri itu, diam-diam sedang memikul beban yang sangat besar. Ia tengah kuliah hukum di sebuah universitas di Purwokerto. Biayanya? Hasil narik angkot, kadang jadi tukang tagih, kadang pula jualan apa aja di kampus.
🧍♂️ Masa Lalu yang Tak Pernah Jauh
Rasmono tumbuh di keluarga sederhana. Ayahnya tani, ibunya buat gula jawa. Dari kecil, ia tahu bahwa hidup takkan memberinya jalan pintas. Tapi sejak MTS, ada satu cita-cita yang menempel kuat di dadanya — menjadi seorang pengacara. Bukan karena ingin kaya, tapi karena suatu hari ia melihat tetangganya yang miskin ditipu dan tak bisa membela diri di pengadilan.
Waktu itu, ia cuma bisa berkata dalam hati:
“Kalau aku bisa baca hukum… orang-orang kecil kayak dia nggak akan sendirian.“
Sejak itu, Rasmono kerja apa saja. Pernah ikut ormas, jadi relawan LSM, bahkan jadi supir angkot. Semua demi satu hal: masuk kuliah hukum.
Saat akhirnya diterima di kampus idamannya, ia sudah menikah. Istrinya yang pertama, Rani, mendukung sepenuh hati. Tapi, hidup tak semudah itu. Tahun berikutnya, ia menikah lagi — dengan alasan yang cuma aku yang tahu. Dua istri, kuliah aktif, dan kerja berat… hidupnya seperti tali tambang yang ditarik dari segala arah.
🎓 Kuliah yang Tak Mudah
Di kampus, Rasmono bukan mahasiswa biasa. Ia datang dengan jaket bernoda debu jalanan, kadang telat karena macet atau ban bocor. Tapi tiap kali duduk di kelas, matanya tajam, penuh semangat.
Sayangnya, tubuhnya sering kalah. Ia pernah ketiduran saat ujian karena semalam baru pulang cari uang jam 2 pagi. Nilainya jeblok. Ia kecewa, tapi tak bisa marah ke siapa pun — hanya dirinya sendiri.
“Pak, saya minta maaf. Nilai saya jelek. Tapi saya janji nggak akan nyerah.”
Begitu katanya pada dosen mata kuliah Hukum Perdata. Dosen itu mengangguk, tapi tak banyak bicara. Mungkin mereka sudah biasa lihat mahasiswa seperti Rasmono… yang hanya bertahan sebentar, lalu hilang dari kampus.
Tapi Rasmono bukan mereka.
🧓 Guru yang Menyalakan Api
Satu-satunya yang percaya penuh padanya adalah Pak Surya, mantan pengacara senior yang sekarang jadi dosen.
“Mono, kamu punya sesuatu yang nggak semua mahasiswa punya: ketulusan untuk membela.”
Begitu katanya suatu sore saat mereka berdiskusi di warung kopi.
“Pak… saya ini cuma supir angkot. Kadang saya malu sama teman-teman. Mereka anak pejabat, bawa mobil, pakai kemeja mahal.”
Pak Surya menatapnya tajam. “Tapi yang mereka punya cuma kulit. Kamu punya nyawa dalam cita-cita.”
Sejak hari itu, Rasmono tak pernah ragu lagi. Setiap kali lelah, ia ingat ucapan gurunya.
🔥 Momen Terendah
Tapi badai tak bisa dihindari. Istrinya yang pertama, Rani, merasa Rasmono terlalu sibuk kuliah dan lupa rumah. Anak mereka sakit, dan Rasmono telat datang. Mereka bertengkar.
Saudaranya sendiri, yang dulu mengejek pilihan Rasmono untuk kuliah, kembali menyerang:
“Wes, mono. Mandeg wae. Uripmu ki kok ngoyak langit, lha awake dhewe iki sopo.”
Malam itu, Rasmono duduk di atas angkotnya yang kosong. Lampu jalan redup. Angin dingin menusuk tulang. Ia menangis diam-diam, memeluk setumpuk buku hukum.
“Apa aku terlalu memaksa?”
🧭 Perubahan yang Perlahan Tapi Pasti
Tahun demi tahun berganti. Nilainya mulai membaik. Ia jadi asisten pengacara, menulis artikel hukum, ikut konferensi kecil-kecilan. Reputasinya tumbuh — bukan karena tampil keren, tapi karena ia tak pernah menyerah.
Pak Surya memberinya kesempatan magang di kantor hukum kecil di Jogja. Rasmono terima, meski harus bolak-balik naik bus ekonomi dari Purbalingga.
Di situ, ia belajar langsung menangani kasus. Ia mendampingi ibu yang ditinggal suami tanpa nafkah, buruh pabrik yang kena PHK semena-mena, dan korban KDRT yang dipaksa damai oleh keluarga.
“Mono, kamu punya bakat. Kamu akan bisa lebih baik dari saya, dan bisa lebih sukses kedepan” kata atasannya saat itu.
🎓 Penyumpahan
Hari penyumpahan itu datang. Jogja pagi itu cerah, tapi hati Rasmono campur aduk. Ia berdiri mengenakan jas hitam pinjaman dari temannya. Di sakunya, terselip foto orang tuanya.
Saat namanya dipanggil:
“Rasmono, S.H…”
Ia melangkah maju. Tegak. Matanya berkaca-kaca.
Dalam hatinya, ia berkata:
“Bu, Pak… anakmu supir angkot, kini berdiri sebagai pengacara.”
Setelah acara selesai, ia duduk sendiri di pojok ruangan. Tak ada istri atau keluarga yang datang. Tapi ia tak sedih. Ia tahu, hari itu adalah awal dari perjuangan baru — bukan akhir.
Kini, Rasmono membuka praktik kecil di Purbalingga. Ia tak punya kantor mewah, tapi selalu menerima kasus dari orang kecil — mereka yang tak tahu harus ke mana mencari keadilan.
“Bayarnya gimana, Pak?” tanya seorang bapak tua pemilik warung, gugup.
Rasmono tersenyum. “Nggak usah pikir itu dulu, Pak. Yang penting urus dulu masalahnya.”
Di ruang kerjanya, tergantung foto kecil — bukan ijazah, bukan piagam. Tapi potret dirinya di atas angkot tua, tersenyum dengan buku hukum di pangkuan.
💬 Penutup
Cerita Rasmono adalah cerita ribuan orang di luar sana — yang bermimpi besar meski hidup kecil. Yang tak menyerah walau diremehkan. Yang percaya bahwa cita-cita bukan soal uang, tapi soal hati dan keberanian.
Dan Rasmono telah membuktikannya.
“Cerita ini Tidak Sepenuhnya Nyata. Kalau Penasaran sama orangnya Buka saja, www.ompras.com“