Namaku Purwono.
Orang-orang biasa manggil aku “Bos Gundul” walaupun aku udah gak punya karyawan, apalagi usaha ayam kayak dulu. Julukan itu nempel terus, mungkin karena kepala ini memang licin dan mengilap, tapi lebih mungkin karena mereka gak tahu cara lain buat manggil aku kayaknya.
Pagi itu, aku duduk di teras rumah kontrakan kecil di Banyumas. Udara dingin, tapi bukan dingin yang bikin segar. Dingin yang nempel karena isi hati lagi kosong (Kosong adalah isi, isi adalah kosong). Di tangan kanan ada kopi hitam yang mulai mendingin, di tangan kiri ada slip tagihan listrik yang belum aku bayar selama tiga bulan.
Aku denger suara sepeda motor dari jauh, suara knalpotnya menggelegar ngebut kayak bocah SMA lagi di kejar setan. Suara itu berhenti tepat di depan rumah. Aku udah tahu siapa itu.
“Bos, piye kabare?”
Aku ngangkat kepala. Dan benar, si Soni, mantan karyawan yang sekarang jualan online.
“Yo ngene-ngene wae, Son. Nganggur, dodolan sepi, utang numpuk. Tapi ya alhamdulilah isih diwei urip lah,” kataku sambil senyum tipis.
Soni ketawa, sok akrab. “Wah, nek ngono tak titip barang ya Bos. Tak kira njenengan isih ndue relasi. Sapa ngerti dodolan lewat njenengan bisa laku keras bos.”
Aku diem. Mikir. Ini bukan pertama kalinya dia datang minta tolong. Sebelumnya titip sepatu, titip madu, titip jam tangan KW. Semua gak ada yang laku. Tapi aku juga gak pernah nolak. Bukan karena aku yakin bisa bantu, tapi karena aku gak enak. Gak enak ngucapin kata “nggak.”
Aku ini orang Banyumas tulen. Bapakku dulu petani, ibuku tukang jualan gorengan. Dari kecil udah diajarin buat jadi orang baik.
“Wong apik kuwi ora gawe susah wong liya, Pur,” kata bapakku.
Makanya aku tumbuh jadi orang yang selalu berusaha bikin orang lain nyaman. Sayangnya, aku gak pernah diajarin gimana caranya bikin diriku sendiri nyaman.
Dulu aku punya usaha ayam potong. Awalnya kecil, cuma 50 ekor. Lalu berkembang. Aku ngerekrut anak-anak muda buat bantu, termasuk Soni. Tiap pagi motong ayam, bersihin, bungkus, terus kirim ke warung-warung. Pernah sehari bisa ngabisin 700 ekor. Duit masuk, hidup lumayan.
Tapi ya itu, karena gak enakan, semua diturutin. Teman minjam duit, tak pinjemin. Saudara nitip ayam, tak tampung. Karyawan minta tambahan gaji, tak kasih. Saking “baiknya”, aku bahkan gak sadar modal usahaku terkikis. Tiba-tiba bangkrut. Semua kabur, tinggal hutang yang nempel kayak lintah.
Sekarang? Aku hidup dari ngojek online dan kadang bantu-bantu jaga warung teman. Istri udah pisah sejak dua tahun lalu. Anak ikut ibunya di Cilacap. Katanya lebih nyaman di sana. Ya aku ngerti. Rumah ini terlalu sepi buat anak-anak.
Kadang aku duduk sendiri malam-malam, ngerokok di dapur sambil liatin plafon yang bocor.
Aku mikir, kenapa ya, orang kayak aku ini selalu jadi tempat numpang?
Pernah suatu hari, temen lama datang. Namanya Mbah Raji. Umurnya hampir 70, tapi masih kuat jalan kaki keliling kampung jualan minyak kayu putih.
“Pur, tak titip ya lima botol. Nek laku, separo buat njenengan.”
Aku ngangguk.
Gak tega nolak. Tapi lima botol itu akhirnya cuma numpuk di lemari. Aku gak sempat jualan. Dan tiap kali lihat botol itu, aku ngerasa bersalah. Ke Mbah Raji, ke diriku sendiri.
Ada juga tetangga, Mbak Tini. Suaminya baru masuk penjara karena kasus penipuan. Dia datang minta tolong, katanya butuh uang buat beli susu anak.
“Nanti aku ganti, Pur. Janji.”
Aku kasih. Sampai hari ini gak pernah diganti.
Dan parahnya, tiap malam aku ngerasa bego. Tapi besoknya, kalau ada orang datang lagi, aku tetap bilang, “Oke, tak bantu.”
Hari itu, aku duduk di warung nasi kucing, makan sendiri, nonton berita dari TV kecil yang burem.
Tiba-tiba ada suara familiar. Eh Ternyata Soni lagi. Tapi bukan cuma dia. Kali ini dia bawa temannya. Mereka duduk gak jauh dari aku. Mereka gak tahu aku di situ.
“Aku titip barang ke si Purwono lagi lah. Orangnya lugu, gampang diomongin. Tinggal bilang ‘tolong’, pasti mau.”
Tawa mereka pecah.
Aku diem. Sendok di tanganku berhenti.
Rasanya kayak disayat dari dalam. Bukan karena dia ngomong gitu, tapi karena… aku tahu itu benar.
Selama ini aku mikir aku “baik”. Tapi ternyata, aku juga gampang dimanfaatin orang.

Aku pulang malam itu, jalan kaki. Hujan turun.
Langkahku berat. Bukan karena capek, tapi karena isi hati ini kayak diaduk-aduk.
Besok paginya, Soni datang lagi. Bawa kotak besar. Katanya isinya “produk baru”.
“Pur, tolong bantu jualin lagi ya? Ini prospek bagus. Modalnya juga kecil kok.”
Aku senyum. Tapi kali ini bukan senyum ramah kayak biasanya.
Aku pandang dia. Dalam.
“Maaf, Son. Aku gak bisa bantu lagi.”
Dia kaget.
“Lho, kenapa Bos? Biasanya njenengan—”
“Aku gak mau jadi orang yang bikin diriku sendiri jadi korban terus.”
Dia diem. Lalu ketawa kecil.
“Walah, Bos. Njenengan mulai pelit nih.” Ucap soni

Aku gak jawab. Aku cuma tutup pintu pelan. Tapi pasti.
Hari itu, aku pergi ke pasar. Aku bawa lima botol minyak kayu putih titipan Mbah Raji. Aku tawarin ke ibu-ibu, satu-satu. Ada yang nolak. Ada yang beli satu.
Pas pulang, aku kasih hasilnya ke Mbah Raji. Matanya berkaca-kaca.
“Maturnuwun, Pur. Njenengan teksih eling.”
Aku senyum. Kali ini, senyum yang gak ada rasa bersalahnya.
Aku masih orang yang gak enakan. Tapi sekarang, aku milih buat gak enak ke orang lain… daripada terus gak enak ke diriku sendiri.
Hidupku masih berat.
Utang belum lunas. Warung belum punya. Anak masih jauh.
Tapi malam ini, pas aku duduk di teras, ditemani kopi yang hangat, aku ngerasa… sedikit lebih ringan.
Mungkin ini yang orang sebut “mulai mencintai diri sendiri”.
Dan itu, menurutku, bukan hal kecil.