Malam itu aku diajak seorang teman untuk menginap di rumah tua peninggalan keluarganya di pinggiran kota. Dari luar, bangunan itu tampak seperti rumah biasa yang dibiarkan kosong terlalu lama—cat terkelupas, jendela kusam, dan halaman dipenuhi ilalang. Tapi begitu pintu kayu berderit terbuka, hawa dingin langsung menyergap, seperti ada sesuatu yang tidak ingin kami masuk.
Kami mencoba menyalakan lampu, tapi hanya beberapa bohlam redup yang hidup, membuat bayangan bergerak aneh di dinding. Temanku berkata santai, “Biasa, rumah lama.” Aku mengangguk, walau bulu kudukku sudah berdiri.
Sekitar tengah malam, suara langkah terdengar dari lantai atas. Aku pikir mungkin suara tikus besar. Tapi langkah itu berat, teratur, seperti seseorang sedang berjalan bolak-balik di atas kepala kami.
Aku memberanikan diri keluar kamar untuk memeriksa. Lorong panjang yang sepi itu terasa makin mencekik. Saat aku melewati ruang tamu, aku melihat kursi goyang di sudut ruangan bergerak pelan. Tidak ada angin, tidak ada orang.
Tiba-tiba suara bisikan muncul, lirih tapi jelas di telingaku: “Kenapa kamu masuk?”
Aku spontan menoleh, tapi hanya mendapati ruangan kosong. Saat kembali ke kamar, wajah temanku pucat pasi. Ia menunjuk ke cermin besar yang tergantung di dinding. Di sana, pantulan kami berdua tidak berdiri sendiri. Ada sosok tinggi berambut panjang berdiri di belakang, dengan mata kosong menatap tajam ke arah kami.
Kami tak menunggu lebih lama. Malam itu juga, meski hujan deras mengguyur, kami lari meninggalkan rumah. Anehnya, saat menoleh sekali lagi, lampu-lampu rumah itu tiba-tiba menyala terang, seolah-olah ada pesta yang baru saja dimulai
Rumah itu berdiri di ujung jalan kecil yang jarang dilalui orang. Menurut cerita warga sekitar, bangunan tersebut milik seorang juragan kaya pada zaman kolonial. Istrinya meninggal muda karena sakit, lalu disusul anak semata wayangnya yang dikabarkan jatuh dari tangga rumah itu. Sejak saat itu, juragan tersebut hidup menyendiri, hingga suatu hari ia ditemukan gantung diri di kamar belakang. Sejak peristiwa itu, rumah tersebut dianggap “berpenghuni” dan tak ada keluarga yang berani menempatinya.
Temanku, yang masih keturunan juragan itu, iseng mengajakku menginap di sana. Katanya, “Cuma cerita orang kampung. Nanti kamu lihat sendiri, rumah ini biasa saja.” Aku, yang sok berani, langsung setuju. Tapi begitu masuk halaman, aku mencium bau aneh seperti bunga melati yang terlalu menyengat, bercampur aroma anyir.
Begitu malam tiba, suasana berubah semakin menekan. Suara jendela berderik, padahal angin tidak terasa. Dari arah dapur, terdengar bunyi sendok seperti ada yang sedang mengaduk gelas. Kami saling pandang, tapi tak ada yang berani mengecek.
Menjelang tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara tangisan perempuan. Lirih, memanjang, seperti dari dalam dinding. Aku membangunkan temanku, tapi ia hanya terdiam ketakutan. Tangisan itu makin keras, lalu berubah jadi suara tawa parau yang menusuk telinga.
Kami nekat keluar kamar untuk mencari sumber suara. Di ruang tamu, cermin besar yang kusam itu tiba-tiba berembun dari dalam, dan perlahan muncul tulisan: “Jangan ganggu kami.” Saat itu juga, kursi goyang bergerak sendiri dengan cepat, seolah seseorang duduk di sana dan marah.
Puncaknya terjadi saat kami mencoba lari keluar. Pintu utama tidak bisa dibuka, seperti terkunci dari luar. Dari arah lorong belakang, sosok tinggi berambut panjang berjalan pelan mendekat. Tubuhnya tampak kaku, wajahnya pucat penuh luka, dan matanya… kosong.
Aku merasakan napas dingin di tengkuk ketika sosok itu berdiri tepat di belakang kami. Tiba-tiba, pintu depan terbuka dengan sendirinya, menghantam dinding. Tanpa pikir panjang, kami lari sekencang mungkin, meninggalkan rumah itu di bawah hujan deras.
Keesokan paginya, ketika kembali bersama warga, rumah itu tampak berbeda. Tidak ada kursi goyang, tidak ada cermin besar, bahkan lorong belakang yang kulihat semalam… ternyata tidak pernah ada.
Setelah tangisan dan tawa parau itu, kami nekat berlari menuju pintu utama. Tapi seperti sebelumnya, pintu itu tidak bisa dibuka. Sosok tinggi berambut panjang makin mendekat, langkahnya berat tapi pasti. Ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, napas seperti tertahan, dan setiap detik berjalan lambat sekali.
Temanku mencoba berteriak, tapi suaranya lenyap seakan disedot dinding. Aku menarik tangannya, panik, tapi saat menoleh, wajahnya sudah berubah pucat pasi. Matanya kosong, persis seperti sosok yang sedang menghantui kami.
“Aku… nggak bisa keluar,” bisiknya lirih, sebelum tubuhnya terhuyung dan terjerembab ke lantai. Aku berusaha mengangkatnya, tapi tubuhnya berat seolah ditahan sesuatu yang tak kasat mata. Saat itu, kursi goyang kembali bergerak liar, pintu lemari terbanting, dan suara tangisan anak kecil terdengar begitu dekat, seakan di telinga.
Aku putuskan untuk meninggalkan temanku, karena nyawaku sendiri juga terancam. Tapi ketika melangkah ke arah pintu, bayangan hitam menutup jalan. Sosok tinggi itu kini berdiri hanya beberapa langkah dariku. Dari matanya mengalir darah hitam, mulutnya menggumam, “Kamu sudah kami pilih.”
Aku tersadar bukan di luar rumah, melainkan di dalam kamar yang sama, namun dengan perabotan berbeda, seperti kembali ke masa lalu. Di cermin besar tergantung di dinding, aku melihat pantulan diriku… tapi bukan sebagai diriku. Wajahku pucat, mataku kosong, dan di kursi goyang itu aku duduk sambil tersenyum dingin.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah malam itu. Keesokan harinya, warga hanya menemukan rumah itu tetap terkunci rapat. Temanku hilang tanpa jejak, dan aku…ternyata selamat seorang diri. Sampai sekarang, kata orang, di malam tertentu rumah itu masih menyalakan lampunya sendiri, dengan bayangan dua orang berdiri di balik jendela.
Penulis: Surya Utama