“Astaga, suaranya unik banget… kayak kucing disko!”
Kata-kata itu meluncur dari speaker HP Reyhan di suatu malam Jumat ketika dia pertama kali melihat dirinya muncul di feed tamu TikTok. Kamera semalam menampilkan dia bernyanyi tanpa sengaja di depan kamera; nadanya cukup… “lo vywuyw”—gugup, ngos-ngosan, dan ganjil—hingga terdengar lebih lucu daripada merdu.
Reyhan mendekatkan jarinya ke layar, menahan rasa panas di pipi dan tekad menahan diri untuk tidak menangis. Followers-nya baru 600 orang semalam, dan kini salah satu video acak—yang bahkan nggak diedit—langsung tembus 1,3 juta view dalam 12 jam. Komentar mengalir cepat:
“Lo viral ya karena… suaranya aneh parah!”
“Gue gak bisa berhenti ketawa tiap dengerin!”
“Mas kucing mau karaoke ya?”
Dia sengaja gak maksud bikin video. Waktu itu dia lagi latihan nyanyi cover lagu ballad Islami untuk akun TikTok barunya. Merasa nilai vokalnya belum cukup bagus, dia tutup mata dan rekam ulang sekali tanpa sengaja. Pas buka mata… kamera menyala. Suara gemetar parah. Bukan aja paduan, itu malah jadi mainan komedi buat netizen.
Namaku Reyhan. Umur 24 tahun. Baru lulus D3 dan baru pindah ke kota kecil demi bantu keluarga. Aku suka nyanyi sejak kecil, sering ikut dai di masjid dan tampil di TV lokal. Tapi suaraku biasa, nggak istimewa—dan aku senang aja selama bisa nyebar pesan damai lewat lagu-lagu religi yang lugas.
TikTok kukira bakal jadi platform sederhana: upload cover, dapat feedback positif, komunitas hangat. Tapi aku salah. Di dunia container entertainment ini, konten harus “meledak” agar menarik perhatian banyak orang. Dan… suaraku akhirnya meledak, tapi bukan seperti aku rencanakan.
Keesokan paginya, saat buka HP, alarm demo kritik langsung menyerang.
“Reyhan jadi meme nasional! Ternyata suara merdu itu overrated!”
“Video mas kucing karaoke ini cuma lucu, bukan karena merdu.”
“Please posting suara asli lagi dong…”
Aku ambil napas panjang, lihat diri sendiri di cermin.
“Merdu? Gua cuma mau jujur sama suara sendiri,” gumamku.
Mama masuk ke kamar, bawa piring sarapan.
“Alhamdulillah ada rejeki. Tapi suamimu kenapa pucat banget?”
“Viral gara-gara suara, Ma… tapi jadi ketawa-ketawain,” ujarku sambil menelan kepahitan.
Mama duduk, taruh tangan di pundakku.
“Yang penting kamu masih bisa senyum. Jangan sampai kamu tersakiti karena olokan orang.”
Rasa bersalah menyusup—aku merasa gagal mengelola ekspektasi dan heterogenitas daring.
Aku coba nyekrol lebih jauh, nemu akun kolektor meme yang memfitnah suaraku. Ada yang bikin potongan audio jadi ringtone, ada yang bikin filter khusus dengan suara “lo vywuyw”. Mereka kreatif, tapi aku nggak cuma tersenyum—aku merasa jadi bahan dagangan populer yang ditertawakan.
Konflik batin itu makin terlihat saat DM masuk dari teman kuliah:
“Re, abis video lo viral aku dikatain harus bayarin utang lo 😅”
Jawaban dilematis: mau aku koreksi, tapi takut konflik. Aku bimbang: berani bales dan jelasin soal niat baik? Atau diam aja, biar ‘wacana suara lucu’ terus berjalan? Selama ini, aku cuma mau nyebar hal positif lewat musik, tapi tiba-tiba “positif”ku jadi lelucon publik.
Satu minggu berlalu. Aku terus posting konten—lagi, lagi, dan lagi—tapi fokusnya pindah: dari kualitas suara jadi materi lucu. Banyak video meme-remix muncul. Aku merasa kehilangan diri. Followers meroket: 20 ribu, 50 ribu… tapi hatiku? Makin jauh dari tempat asal niatku.
Aku gak jadi membaca ayat Quran satu jam sebelum tidur, karena mikirin notifikasi. Gak jadi latihan vocal, karena lama-lama jenuh. Fokusnya cuma: berapa view lagi? komentar netral? trending di mana?
Sampai suatu malam, aku nonton live TikTok dari sahabat lama, Nisa. Dia ngobrol ringan soal mental health, pake musik akustik pelan di latar belakang. Dia bilang:
“Jangan biarkan diri kalian menjadi pribadi yang terganggu oleh komentar orang. Kadang yang jauh dari realita offline malah jadi ratio trending.”
Ketukan itu langsung menembus hatiku. Nisa dulu sahabat sekelompok musik kampus—dia yang selalu meyakinkanku suara penyembuh hati. Kini aku kehilangan arah. Aku tahu harus berhenti dan introspeksi.
Aku matiin livestream, dan aku menuliskan skrip jujur:
- Reaksi awal viral
- Bagaimana jump to meme bikin hati seperti digunting
- Rencana ke depan: balik ke niat awal — sebar kebahagiaan lewat musik yang benar-benar kupedulikan
Aku tekan Go Live esoknya, sambil tangan gemetar. Kamera menyala, aku mulai cerita—tidak ada basa-basi.
Puncak cerita terjadi saat aku dengan suara lembut berkata lewat live:
“Aku viral karena suara merdu—katanya. Tapi satu minggu ini, aku merasa… suaraku malah jadi topeng. Topeng yang lucu tapi bikin lelah. Aku di sini bukan minta simpati, aku cuma pengen kalian tahu: di balik video lucu ini, aku masih sama seperti kalian—suka musik, cinta damai, dan ingin dipahami.”
Nada bicaraku tenang.
Aku lanjut dengan serenade lagunya Nisa “Peluk Langit”—versi akustik tanpa edit apapun. Suaraku parau, tapi tulus.
“Ini suaraku apa adanya,” kataku di akhir perform. “Bukan ‘kucing disko’, melainkan suara aku yang dulu niatin nyebar kebaikan.”
Reaksi datang puluhan ribu: hearts, komentar halal, dan permintaan maaf dari beberapa akun meme.
Akhir yang menyentuh muncul di hari-hari berikutnya. Video jujur itu tetap viral—tapi bukan sebagai meme. Jadi bagian dari trending #ViralJujur. Banyak komentator bilang mereka nangis saat lihat live. Beberapa orang DM curhat soal tekanan sosial media. Nisa muncul dan bantu bantu narasi video.
Aku juga didekati label musik lokal: interest ingin produksi lagu akustik bareng mereka. Kecil, tapi berarti.
Yang paling bikin haru, Mama bilang waktu aku tunjukin kompilasi komentar baik:
“Re, lihat ini. Banyak orang senang karena kamu kembali ke dirimu sendiri.”
Aku tatap layar. Tanganku bergetar.
“Itu bukan viral yang salah, Ma. Itu… viral yang murni.”
Penutup:
Aku kini belajar bahwa viral itu seperti api semalam—cepat membara dan cepat padam. Tapi yang membara lama bukanlah popularitas, melainkan kejujuran dan niat baik. Kadang kita jadi viral bukan karena kita ingin – tapi kitalah yang paling terluka karenanya. Pilihan ada di tangan kita: lanjut ikut arus meme-an atau kembali ke akar alasan kita berbagi.