Sore itu, ketika senja merambat lembayung ke ujung langit, Danu duduk menyendiri di teras rumahnya. Di depan matanya, deretan lampu kota mulai menyala pelan-pelan, seperti ribuan lilin kecil yang menolak padam. Namun, dalam dadanya, kelu terasa menebal—entah karena pencapaian yang belum direalisasi, atau mimpi lama yang masih menggantung tak pasti.
Selama bertahun-tahun, Danu bekerja sebagai pegawai biasa di sebuah kantor, menerima gaji cukup untuk hidup seadanya. Ia punya mimpi: menulis buku yang menggetarkan, membuka kursus menulis, atau setidaknya berbagi cerita di panggung terbuka. Tapi, rutinitas membuatnya terjebak. Setiap lembur, ia pulang dengan sisa energi yang hanya cukup untuk tidur. Bahkan malamnya pun untuk istirahat – naskah itu terus tertunda.
Hingga suatu hari, di sebuah warung kopi pinggir jalan, ia mendengar potongan kata: “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Si nenek tua duduk berdua dengan cucunya, memesan secangkir kopi hangat dan sepotong risoles. Seutas obrolan sederhana—tentang lapak kecil nenek dan cinta cucu—membuatnya tersentak. Ia pulang dengan pikiran penuh gejolak.
Malam berikutnya, Danu membuka laptop lama yang sudah penuh debu. Dalam hati, dia bergumam, “Saya harus mulai.” Ia mengetik… lalu berhenti. “Ayolah, 300 kata dulu.” Tapi yang keluar hanya baris-baris canggung. Ketakutan muncul seperti dinding tebal: takut tulisan jelek, takut orang menertawakan ide, takut gagal.
Hari-hari berlalu, dan laptop tak terbuka lagi. Danu menatap naskah kosong, dengan tambahan perasaan bersalah karena “waktu terbuang”. Ia bercerita pada istri, Lina, yang tersenyum dan menggenggam tangannya: “Om bisa, Danu. Tulisan kecil di atas kertas pun tanda perjuangan.”
Namun, kenyataan lain datang: bos menugaskan proyek mendesak. Jam lembur bertambah, otak lelah, tubuh letih. Minggu pun tiba – tapi tak ada satu kata pun di naskahnya. Danu pun merasa berdosa, bahkan kesal pada diri sendiri.
Konflik semakin memuncak saat suatu malam, ia bermimpi menemukan barisan kata yang sempurna dan buku itu terbit. Ia bangun dengan semangat membara, lalu… semuanya hilang karena ia terlalu lelah. Rasa frustrasi memuncak. “ Apa gunanya bermimpi kalau kerja keras saja tak cukup?”
Suatu hari, saat asyik menatap layar kosong, ponselnya berbunyi: chat dari mantan teman kuliah, Rina. Ia kirim link blognya, sukses dapat pengunjung banyak karena naskah sederhana. “Cobain sharing apa pun yang Om rasakan, Danu. Gak perlu tunggu sempurna.” Danu menatap layar, terpekur. Ini bukan kritik biasa. Ini dorongan rayu dari hati.
Akhirnya, Danu mengambil keputusan. Ia menetapkan ‘target 200 kata setiap malam sebelum tidur’. Mulai dari titik nol, menulis judul, tema kecil. Malam pertama: tangis muncul karena cerita mengalir begitu saja—tentang masa kecilnya, sahabat yang hilang, harapan yang terkubur. Kata-larinya dari lubuk hati. Ia menulis tentang nyala lilin masa lalu dan bayangan masa depan. Tangisnya pecah menjelang tengah malam. Tapi, di sana terbuka pintu: tulisan pertama itu selesai, 210 kata.
Minggu berikutnya, ia disiplin. 200 kata malam-malam berikutnya dan bahkan mulai mengedit. Tulisan itu jadi bab satu yang tentang kegelisahan, mimpi yang tertunda, hingga percikan harapan di ujung malam. Begitu penuh makna bahwa Danu meminta Lina membacakannya. Linapun menangis, tapi dengan senyum. “Om hebat,” katanya. Dan di situ Danu sadar: menangis dan bahagia itu pedas tapi manis.
Konflik muncul lagi: minggu depan ada meeting besar di kantor yang menyita waktu. Tapi Danu sudah siap. Ia membawa pulang setengah jam lembur – dan tetap menulis ketika semua sudah pulas.
Intinya, ia bertahan. Ia jadikan waktu menulis sebagai ritual harian. Malam minggu? Tukar jaga anak dengan Lina, Danu menulis di kamar. Lelah? Ia tetap menulis. Capek? Ia menulis potongan: dialog, deskripsi, curhatan hati. Kalau ia skip satu malam, ia ganti di pagi buta. Ia berjanji pada diri sendiri—dan pada sekecil adiknya sebagai inspirasi.
Lalu klimaksnya tiba—di malam ke-30, naskah panjang itu mencapai kata ke-6.000 lebih, setara satu cerita lengkap. Penuh konflik, dialog, konflik batin, bahkan ending yang membangkitkan harapan.
Saat ia baca ulang, aduh, semakin mengharukan. Cerita tentang seorang pria yang pernah takut bermimpi, lalu belajar mencintai proses. Tangis dan tawa bersahutan.
Ia kirimkan ke blog kerjanya dan ke beberapa pembaca beta. Respons datang: “Saya menangis, Danu. Ini sungguh menenangkan.” “Saya ingat mimpi saya lagi.” “Ini memotivasi.” Tangisan haru lagi, tapi kini bahagia.
Suatu hari malam, Danu menyalakan laptop, menyelesaikan bab akhir. Judul cerita itupun sudah matang: “Lilin di Tengah Gelap”. Ia baca seluruhnya. Tangannya gemetar. Di depan matanya, bayangan diri sendiri memenuhi layar: perjuangan, kesedihan, harapan. Ia menutup laptop dengan haru.
Lina yang melihat tersenyum. “Om berhasil.”
Danu tersenyum lembut. “Semua ini milik kita,” katanya, menggenggam tangan Lina. “Jika bukan sekarang, kapan lagi?”
Beberapa minggu kemudian, ia membaca cerita itu di panggung terbuka – sekelompok orang di depan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ada yang menitikkan air mata, ada yang tersenyum mengangguk. Dia tahu: suara lirihnya di tengah gelapku itu sekarang menyalakan lilin untuk orang lain.
Cerita berakhir dengan Danu menolak sopir transport online di depan rumah. Titik-titik lampu di atas jalan seperti bintang kecil. Dia dan Lina berjalan pulang sambil berbicara ringan. Bukan soal naskah atau kesuksesan besar—tapi tentang perjalanan kecil yang sudah melewati gelap dan menemukan nyala baru.
Dan di dalam dada, kini ada ketenangan. Bahwa dalam kehidupan ini, keyakinan dan keberanian pada satu langkah kecil setiap hari, bahkan—hanya—menyalakan satu lilin di tengah gelap, bisa mengubah segala arah perjalanan manusia. Bahwa manusia tak perlu menjadi sempurna—cukup menjadi nyala, cukup percaya pada diri sendiri, cukup memberi cahaya kecil untuk mengilhami diri dan orang lain.