Langit sore itu mendung, menggantung di atas kota kecil bernama Sukamukti. Angin berembus pelan, seolah enggan membongkar rahasia yang disimpan hari itu. Di ujung trotoar dekat halte tua, seorang perempuan berdiri memeluk payung lipat yang belum sempat ia buka. Namanya Sinta—29 tahun, guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 2. Matanya kosong, menatap jalan yang sepi, tapi pikirannya ramai.
Bukan soal pekerjaan. Bukan pula soal keluarga. Tapi soal satu nama yang tak selesai di hatinya: Rega.
Mereka pernah seperti dua musim yang menunggu giliran. Tak pernah bersatu, tapi saling bergantung. Lima tahun lalu, Rega dan Sinta hampir menikah. Undangan sudah dicetak, gedung sudah dipesan, bahkan katering sudah dibayar lunas. Tapi seminggu sebelum hari H, Rega pergi. Tanpa kata. Tanpa salam.
Dan sore itu, setelah lima tahun, Sinta menerima pesan di WhatsApp-nya.
“Boleh kita bertemu? Aku di kota.”
Restoran itu masih sama. Meja kayu gelap, lampu temaram, dan pelayan yang mengenakan celemek cokelat tua. Tempat yang dulu jadi favorit mereka setiap Jumat malam. Kini, meja di pojok kanan kembali diisi dua gelas teh manis. Tapi hanya satu yang diangkat.
“Terima kasih sudah mau datang.”
Sinta mengangguk pelan. “Aku nyaris tidak datang.”
Rega tersenyum, senyum yang dulu mampu merontokkan marahnya Sinta dalam sekejap. Tapi sekarang senyum itu tak lebih dari kenangan yang basi.
“Aku salah. Tapi waktu itu… ada hal yang tidak bisa kutolak.”
“Kenapa tidak bilang?”
Rega menunduk. Jemarinya menggenggam gelas yang hangatnya mulai pudar.
“Ayahku sakit parah. Aku harus pulang ke Belanda mendadak. Dan… aku nggak sanggup menjelaskan semua itu waktu itu. Aku takut kamu berpikir aku mencari-cari alasan.”
Sinta menatapnya tajam. “Tapi kamu benar-benar pergi. Tanpa kabar. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun.”
Rega menarik napas panjang. “Setelah ayah meninggal, aku hancur. Dan saat aku ingin kembali, aku pikir kamu pasti sudah membenciku.”
Sinta tertawa kecil. Bukan tawa gembira. Tapi tawa getir yang menyimpan luka.
“Aku nggak marah waktu itu, Rega. Aku hanya… kosong. Hidupku kehilangan pusat gravitasi.”
Hening merayap. Mereka hanya menatap meja. Tak berani menatap satu sama lain. Lalu, Rega membuka mulutnya lagi.
“Aku kembali karena… aku belum selesai.”
Beberapa minggu berikutnya, Sinta dan Rega mulai kembali bertukar kabar. Sesekali makan bersama. Sesekali jalan sore. Tapi tidak ada kata cinta yang terucap. Tidak ada pelukan. Hanya keheningan yang pelan-pelan menjadi hangat.
Sinta mencoba jujur pada dirinya sendiri. Ia tidak pernah benar-benar berhenti mencintai Rega. Tapi cinta yang dulu, bukan cinta yang sekarang. Ada luka yang belum sembuh. Ada ruang kosong yang tak bisa diisi ulang begitu saja.
Hingga suatu malam, saat gerimis turun tipis, Rega menjemput Sinta di depan sekolah. Mobil tuanya masih bau kopi, seperti dulu.
“Mau ke tempat yang dulu kita suka?” tanya Rega.
Sinta mengangguk. Mereka pergi ke bukit kecil di pinggiran kota, tempat mereka dulu sering menatap bintang. Tapi malam ini, langit berawan. Tak ada bintang.
“Aku mau jujur, Sin,” kata Rega pelan. “Aku ingin menikahimu. Tapi aku tahu, semua itu tergantung kamu. Aku gak bisa minta kamu melupakan semuanya begitu saja.”
Sinta menatap ke arah pepohonan yang diterpa angin malam.
“Aku sudah terlalu lama belajar memaafkan. Tapi memaafkan tidak sama dengan melanjutkan.”
Rega diam. Wajahnya seperti diselimuti kabut. Ia tak mengerti apakah itu berarti penolakan, atau hanya jeda sebelum keputusan.
“Selama lima tahun, aku belajar mencintai diriku sendiri,” lanjut Sinta. “Belajar hidup tanpamu. Dan sekarang… kamu datang lagi, membawa hal yang dulu sempat hancur.”
Rega menunduk. “Aku siap untuk menebus semuanya. Seumur hidupku.”
Dan di situlah, air mata Sinta menetes. Tanpa suara.
“Aku tidak ingin kamu menebus apa pun, Rega. Aku hanya ingin tahu, apakah cinta itu masih sama.”
Rega menatap Sinta dalam-dalam. “Kalau kamu izinkan, aku akan mulai dari awal. Bukan sebagai penebus dosa, tapi sebagai seseorang yang benar-benar mencintaimu.”
Musim hujan datang lebih cepat tahun ini. Dan kota Sukamukti pun mulai sering basah. Tapi di balik jendela rumahnya, Sinta duduk dengan laptop menyala. Di sebelahnya, ada mug teh yang tinggal setengah. Di layar, ada dokumen kosong yang baru saja ia beri judul: “Langit Setelah Hujan.”
Tulisan pertama yang ia buat setelah sekian lama. Sebuah catatan tentang cinta, kehilangan, dan keberanian untuk membuka hati.
Di luar, terdengar suara motor berhenti. Rega datang dengan payung besar dan senyum pelan. Bukan senyum sempurna, tapi cukup.
Cinta itu tak pernah kembali dalam bentuk yang sama. Tapi seperti langit setelah hujan, ia datang membawa warna baru. Kadang masih mendung. Kadang pelangi. Tapi selalu ada harapan.