Semua berawal dari satu hal kecil: telur puyuh bacem. Ya, telur puyuh bacem. Bukan emas, bukan berlian. Hidayat—pemuda berusia 27 tahun yang belum lulus kuliah sejak 2014 dan masih numpang di rumah orang tua—adalah pelanggan setia angkringan Pak Topo. Dan semuanya berubah sejak dia merasa… “kenapa sih cuma dapet satu tusuk, padahal aku langganan?”
“Nda adil, Top. Aku udah langganan dari zaman masih pake sandal swallow,” protes Hidayat sambil menatap telur puyuh yang tinggal satu di atas nampan.
Pak Topo cuma ketawa, “Lha emang kamu pikir ini Indomaret? Siapa cepat dia dapat, Dat.”
Mulai dari situlah, Hidayat merasa dirinya harus naik level. “Aku nggak bisa terus-terusan jadi rakyat biasa di angkringan ini,” gumamnya malam itu di bawah lampu temaram sambil makan nasi kucing dan kerupuk yang sudah agak lemes. “Aku harus jadi… penguasa angkringan!”
Strategi Lantai Dingin
Besok malamnya, Hidayat datang lebih awal. Biasanya angkringan buka jam 6, dia udah nongkrong dari jam 5.30. Duduk paling pojok dekat termos teh manis. Sambil bawa bantal kecil dan sajadah. Bukan buat salat, tapi katanya biar “menciptakan suasana damai”.
Datangnya terlalu awal ternyata bikin awkward juga.
“Lho, Mas Hidayat, lha kok udah di sini?” tanya Pak Topo sambil masih buka tutup tenda angkringan.
Hidayat pura-pura ngelamun, “Aku hanya pengembara malam yang mencari ketenangan di aroma sate usus…”
Pak Topo mengangguk pelan, tidak paham. Tapi juga terlalu malas untuk tanya lebih lanjut.
Setelah dua minggu konsisten jadi pelanggan pertama, Hidayat mulai kasih usulan ke Pak Topo.
“Top, aku usul… meja kamu kurang ada vibe-nya. Nih, aku bawain lilin aroma terapi. Lavender. Biar pelanggan merasa healing.”
Ajaibnya, Pak Topo mengiyakan. Apalagi setelah lilin itu ternyata bisa ngusir nyamuk. “Wah, Hidayat, kamu ini… calon manager angkringan!”
Hidayat tersentak. Kata “manager” itu seperti suara gamelan di hatinya. Sejak malam itu, dia makin semangat. Bawa speaker mini, muter playlist lo-fi sambil ngatur tempat duduk.
“Kursi plastik yang merah, khusus buat pelanggan VIP. Yang hijau buat pelanggan biasa. Yang udah ngutang lebih dari 3 minggu, duduk di galon.”
Semua itu dia atur sendiri. Entah kenapa, teman-teman nongkrongnya malah nurut.
Kudeta Plastik Bening
Suatu malam, datanglah saingan baru: Mas Andi, mantan ketua karang taruna yang sekarang kerja di minimarket. Gayanya elegan. Datang bawa kopi sachet sendiri dan gelas kaca. Hidayat langsung merasa terancam.
“Kamu pikir ini co-working space, Andi?” tanya Hidayat lirih, tapi menusuk.
Mas Andi cuma senyum tipis, “Nggak Dat, aku cuma pengen kopi yang gula aren…”
Hidayat yang mulai merasa posisinya goyah, mulai membuat peraturan:
- Tidak boleh bawa makanan dari luar.
- Tidak boleh duduk lebih dari 2 jam tanpa pesen ulang.
- Tidak boleh selfie pakai flash, takut mengganggu aura nasi kucing.
Dia tulis semua peraturan itu di kardus bekas, tulisannya pakai spidol wangi. Ditempel di tiang listrik dekat angkringan. Ajaibnya, semua nurut. Termasuk Mas Andi, yang akhirnya balik lagi bawa kopi instan merek murah biar nggak mencolok.
Terbongkarnya Cinta Rahasia
Suatu malam, angkringan jadi heboh. Mbak Tari, anak pemilik toko fotokopi, duduk sendirian sambil senyum-senyum. Semua orang tahu, Hidayat naksir dia sejak zaman pakai jam tangan digital yang bisa nyetel radio.
Hidayat, yang merasa posisinya sebagai “pemimpin spiritual angkringan” sudah kuat, mendekat pelan-pelan.
“Mbak Tari, tahu nggak, kalau dalam dunia politik angkringan, kamu itu seperti parutan kelapa di bubur kacang hijau.”
Mbak Tari terdiam, mencoba memahami.
“Maksudnya?” tanya dia bingung.
“Tanpa kamu, semua hambar. Kamu yang bikin manisnya beda…”
Latar belakang lagu lo-fi mendadak cocok banget sama suasana. Tapi sebelum bisa lanjut, Pak Topo nyeletuk:
“Dat, kamu belum bayar lima tusuk kemarin.”
Mbak Tari langsung ketawa ngakak. Hidayat langsung memutar badan, pura-pura ngatur lilin.
Babak 4: Kiamat di Bawah Tenda
Angkringan mengalami krisis besar ketika satu malam, hujan deras mengguyur. Tenda bocor. Kompor mati. Teh manis jadi dingin. Pelanggan bubar.
Hidayat panik. Dia tahu ini saatnya dia beraksi sebagai pemimpin. Dia buka grup WhatsApp “Pasukan Setia Angkringan” dan kirim pesan:
“Kawan-kawan, kita tak boleh kalah oleh hujan. Ini lebih dari sekadar nasi kucing. Ini tentang persahabatan. Tentang loyalitas. Tentang telur puyuh yang setia pada tusukannya.”
Keesokan harinya, 13 orang datang bawa jas hujan dan terpal. Mereka bantu bikin tenda darurat. Ada yang bawa kursi lipat, ada yang bawa lampu emergency. Angkringan Pak Topo jadi kayak posko bencana tapi isinya canda tawa dan wedang jahe.
Malam itu, Hidayat diangkat sebagai “Presiden Angkringan” dengan upacara simbolis: dikalungi tusuk sate bekas dan dikasih stempel dari tutup botol kecap.
Plot Twist dari Ibu
Semua berjalan damai sampai suatu hari, ibunya Hidayat datang langsung ke angkringan.
“Dayat! Kamu ngapain di sini tiap malam?!”
Semua orang kaget. Bahkan Pak Topo nunduk.
“Aku… aku membangun peradaban, Bu,” jawab Hidayat dramatis.
Ibunya menatapnya lama. “Peradaban opo. Baju aja udah tiga hari nggak ganti. Listrik rumah mati, kamu malah main lilin di sini!”
Suasana jadi tegang. Tapi sebelum makin panas, Mbak Tari maju dan berkata, “Tante… Hidayat itu pemimpin kami di sini. Dia yang bikin angkringan ini rame.”
Ibunya terdiam sebentar, lalu nyeletuk, “Rame ora iso tuku LPG.”
Semua ketawa. Bahkan Hidayat pun senyum malu-malu.
Sejak saat itu, Ibunya Hidayat malah sering nganterin cemilan buat angkringan. Kadang gorengan, kadang kolak. Katanya biar “anaknya nggak malu-maluin”.
Legenda di Bawah Bintang
Sekarang, angkringan Pak Topo bukan angkringan biasa. Sudah punya akun Instagram, follower 1.234, dan review bintang lima dari seorang selebgram lokal yang katanya “angkringan ini kayak rumah kedua”.
Hidayat masih belum lulus kuliah. Tapi sekarang dia punya gelar: CEO (Chief Emperan Officer) Angkringan. Setiap malam, dia duduk paling pojok dengan jaket jeans belel, ngatur playlist lo-fi, dan sesekali nyengir sambil ngeliatin telur puyuh yang sekarang… dia bisa ambil duluan.
Karena di angkringan ini, dia bukan siapa-siapa.
Dia segalanya.