Sejak kecil, Damar terbiasa hidup dalam kebisingan. Rumah sempit di gang sempit, suara pertengkaran orang tuanya, tangisan adiknya, dan pekikan televisi tua yang tak pernah dimatikan. Semua itu adalah musik latar hidupnya. Tapi malam itu, setelah tujuh belas tahun tinggal di bawah atap yang sama, Damar menemukan sesuatu yang tak pernah ia temukan sebelumnya—hening. Bukan hening karena semua suara padam, tapi hening karena untuk pertama kalinya, ia tak mendengar dirinya sendiri.
Ibunya meninggal tadi sore. Serangan jantung katanya. Tidak sempat dibawa ke rumah sakit. Ayahnya? Entah ke mana sejak pagi. Mungkin masih mabuk. Atau masih tertidur di kolong jembatan tempat biasa ia kalah judi.
Di rumah yang kini hanya berisi jasad, dupa, dan isak tangis tetangga yang terlalu sopan untuk bersikap jujur, Damar duduk sendirian di sudut ruang tamu. Matanya kosong. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena sedih. Lebih karena bingung—dan marah. Dunia terasa mempermainkannya terlalu sering.
Malam itu, Damar kabur dari rumah duka. Ia berjalan menyusuri lorong gelap kota, melewati lampu jalan yang berkedip seperti nyawa yang hendak padam. Kakinya membawanya ke tempat yang tak pernah ia duga: masjid tua di ujung pasar.
Masjid itu selalu kosong selepas Isya. Tapi malam ini, ada seorang pria tua duduk di mihrab, mengenakan sorban putih dan gamis kusam. Matanya memejam, seolah menunggu seseorang. Damar ragu, namun kakinya tetap melangkah masuk.
“Engkau terlambat,” kata pria itu pelan, tanpa membuka mata.
Damar kaget. “Maaf, saya tidak mengerti.”
“Jiwa yang haus akan terang tak boleh menunda. Tapi Tuhan tak pernah menghitung waktu seperti kita.”
Damar terdiam. Entah mengapa, ia merasa sedang ditelanjangi oleh kata-kata yang tak ia pahami. Ia duduk perlahan, lututnya gemetar. Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Damar mendengarkan—bukan pada dunia, tapi pada dirinya sendiri.
Pria itu mulai bercerita, tentang penciptaan, tentang kematian, dan tentang jarak antara keduanya yang disebut kehidupan. “Semua orang mencari cahaya, padahal Tuhan tidak pernah mematikan lampu. Kita hanya menutup mata.”
“Kalau begitu… kenapa hidup saya gelap?” tanya Damar, suaranya hampir tak terdengar.
“Karena kamu mencintai bayanganmu sendiri, bukan cahayanya.”
Malam itu Damar menangis. Bukan karena duka. Tapi karena ia baru menyadari betapa kosong hidupnya, betapa jauh ia dari dirinya sendiri.
Hari berganti minggu. Damar mulai sering datang ke masjid tua itu. Pria tua itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Kyai Salman, mengajarinya cara duduk dalam hening, cara bernafas tanpa ketakutan, dan cara mendengarkan suara Tuhan yang sering datang dalam bentuk sunyi.
Ia tak lagi mencari uang dengan cara mencuri dompet orang mabuk di terminal. Ia mulai bekerja sebagai penjaga masjid. Ia mulai membaca, menulis, bahkan mengajar anak-anak kecil membaca huruf Arab. Tapi yang paling penting, ia mulai memaafkan. Bukan memaafkan ayahnya, atau dunia yang membuat ibunya menderita—tapi memaafkan dirinya sendiri, yang selama ini hanya jadi penumpang dalam hidupnya.
Suatu malam, setelah selesai membersihkan teras masjid, Damar duduk di samping Kyai Salman. Langit gelap. Bintang-bintang seperti jarum yang menusuk malam.
“Guru…” bisik Damar. “Kalau manusia harus kehilangan segalanya dulu untuk menemukan Tuhan… apakah itu adil?”
Kyai Salman tersenyum. “Tuhan tidak pernah mengambil. Dia hanya mengosongkan tangan kita, agar bisa menerima yang lebih mulia.”
“Lalu, apa tujuan hidup saya?”
“Tujuanmu bukan untuk menjadi sesuatu. Tapi untuk mengenali siapa yang menciptakanmu. Dunia ini bukan panggung pertunjukan, Damar. Dunia ini adalah tempat untuk kembali. Dan kamu sedang dalam perjalanan pulang.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Damar merasa tidak sendirian.
Penutup yang Memberi Kesan Mendalam
Tiga bulan kemudian, masjid tua itu dirubuhkan. Pemerintah kota menganggapnya menghalangi proyek pelebaran jalan. Kyai Salman menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Tidak ada catatan, tidak ada alamat, tidak ada petunjuk.
Namun, Damar tak merasa kehilangan. Ia merasa telah menerima lebih dari cukup. Ia kini tinggal di rumah kecil milik seorang jemaah masjid yang memberinya pekerjaan tetap sebagai guru ngaji. Ia menanam pohon-pohon di halaman. Ia memberi makan anak-anak yatim di sekitar. Ia hidup sederhana, tapi damai.
Setiap subuh, ia duduk di bawah pohon jambu, memejamkan mata, dan berbicara pada Tuhan dalam diam. Hening yang dulu membuatnya takut kini menjadi tempat paling teduh untuk bersandar.
Suatu malam, dalam tidurnya, ia bermimpi duduk di masjid tua itu lagi. Kyai Salman ada di sana, tersenyum, membawa secangkir teh.
“Apakah saya sudah pulang, Guru?” tanya Damar dalam mimpi.
“Belum, tapi kamu sudah berjalan ke arah yang benar. Dan itu cukup. Karena Tuhan tidak menunggu siapa yang cepat. Ia hanya menunggu siapa yang sungguh-sungguh.”
Damar terbangun. Dadanya hangat. Di luar, angin malam menggesek dedaunan seperti doa yang ditiupkan langit.
Dan ia tahu, untuk pertama kalinya, hidupnya benar-benar dimulai.