Judul Cerita: Cinta yang Tak Direstui
Kategori Cerita: Tidak direstui orang tua yang membuatku sangat sakit hati.
“Perbedaan derajat bagaikan langit dan bumi yang membuat orang tuaku tak merestui hubungan ini.”
“Kenapa ini bisa terjadi padaku, padahal aku sangat mencintainya, tulus dari hati yang terdalam.”
Aku masih ingat betul malam itu. Hujan turun pelan-pelan seperti ingin ikut mendengarkan pertengkaran kami. Ayah berdiri di ruang tamu dengan wajah keras dan mata tajam. Ibuku duduk di sisi sofa, menunduk, tapi tidak membela. Seakan diam adalah bentuk paling lemah dari penolakan.
“Ayah tidak akan pernah merestui hubungan ini. Tidak dengan lelaki seperti dia.”
“Kenapa? Karena dia anak tukang tambal ban?” Suaraku bergetar, marah dan kecewa bercampur jadi satu.
“Karena dia tidak selevel denganmu, Dira. Kau lulusan kedokteran. Kau anak orang terpandang.”
“Dan dia anak orang miskin gitu yah, miskin yah, beda dengan kita yah” aku membalas, nyaris menjerit dan berlinang air mata.
Malam itu aku pergi meninggalkan rumah. Hanya membawa tas kecil dan air mata yang tak kunjung kering. Di tengah gerimis, aku mengetik pesan untuk Reza. “Aku butuh kamu za.”
Reza adalah lelaki paling sederhana yang pernah kutemui, sekaligus paling rumit dalam hal mencinta. Ia tidak banyak bicara, tapi sekali ia bicara, dunia rasanya berhenti sejenak mendengar ucapanya. Ia bukan sarjana, bukan pegawai kantoran, apalagi orang berada. Tapi ia tahu caranya membuatku merasa aman, seperti rumah yang selalu menyala lampunya saat aku pulang terluka.
Kami bertemu tiga tahun lalu, di pinggir jalan yang ramai oleh deru motor dan debu kota. Ban motorku bocor, dan bengkel terdekat adalah milik ayah Reza — bengkel kecil berdinding seng, tapi penuh tawa dan suara radio tua. Reza memperbaiki bannya, lalu mengajakku minum kopi sachet yang entah kenapa terasa paling nikmat malam itu.
Dan dari situ, segalanya berubah.
Aku tinggal bersamanya selama seminggu di rumah petak di belakang bengkel. Bukan tempat mewah, bahkan terlalu sempit untuk dua orang dewasa. Tapi di situlah aku belajar arti tenang. Kami memasak bersama, makan nasi dengan telur dadar, berbagi cerita masa lalu sambil menyeka keringat.
Reza tidak pernah bertanya kenapa aku datang dengan mata bengkak. Ia hanya memelukku erat dan berkata, “Tak perlu kuat, Dira. Di sini, kamu boleh rapuh.”
Tapi dunia luar tak sebaik dunia kecil kami.
Ibuku menelepon, memohon agar aku pulang. Ayah mengirim pesan panjang yang diakhiri dengan ancaman. “Kalau kamu memilih dia, kau bukan anak kami lagi.”
Aku kembali ke rumah, bukan karena takut, tapi karena Reza memintaku.
“Pulanglah dulu,” katanya pelan, “kau butuh berdamai, bukan melawan. Aku akan tetap di sini.”
Dua minggu setelah itu, kami tak saling bertemu. Reza hanya mengirim pesan-pesan pendek:
“Kamu baik-baik saja?”
“Aku rindu.”
“Hari ini aku tambal tujuh motor.”
Dan aku hanya membalas dengan hati yang hampa. Karena di rumah, aku seperti asing di tempat yang seharusnya membuatku merasa pulang. Ayah tak menyapaku. Ibu hanya memandangku dari balik pintu kamar. Seolah aku sudah mencemarkan nama keluarga.
Sampai hari itu datang. Hari di mana Reza menghilang.
Aku menunggunya di tempat biasa kami bertemu — di bawah pohon beringin tua dekat stasiun. Hujan turun. Aku berdiri satu jam, dua jam. Tak ada Reza.
Pesanku centang satu.
Teleponku tak diangkat.
Aku pulang dengan dada sesak. Ada sesuatu yang terasa hilang, tapi belum sepenuhnya pergi.
Dan benar saja. Dua hari kemudian, kabar itu datang.
Reza pergi ke luar kota. Bukan liburan. Ia memilih menjauh. Membuka bengkel kecil di desa pamannya, mencoba menghapus luka yang kuperlihatkan terlalu jelas.
Aku duduk di kamar, menatap layar ponsel tanpa pesan masuk.
Tanganku gemetar saat menulis: “Kenapa kamu pergi? Aku butuh kamu.”
Balasannya singkat:
“Karena aku juga butuh diriku sendiri. Dan aku tak mau kamu terus sakit karena aku.”
Malam itu aku menangis tanpa suara. Menangis untuk cinta yang kalah oleh restu. Untuk kebanggaan yang mengalahkan kejujuran hati. Untuk ayah dan ibu yang lebih memilih gengsi dibanding cinta anaknya.
Waktu berlalu. Tiga tahun.
Aku bekerja di rumah sakit, mengenakan jas dokter, tersenyum pada pasien, tapi kehilangan makna. Setiap kali menatap pria berseragam teknisi atau pekerja bangunan, aku teringat senyum Reza. Tangannya yang kasar tapi lembut saat menyeka keringatku. Suaranya yang tenang saat dunia terasa menggila.
Aku pernah mencoba menjalin hubungan lagi. Tapi semuanya terasa… tidak cukup. Mereka sempurna di atas kertas, tapi tak ada yang punya mata seperti Reza — mata yang bisa membuatku yakin bahwa aku layak dicintai, bahkan dalam bentukku yang paling hancur.
Suatu malam, aku pulang ke rumah setelah shift malam. Dan kulihat sesuatu di depan pagar. Sebuah motor tua, dengan seseorang duduk membelakangiku.
Aku tahu punggung itu. Cara dia duduk. Diamnya.
“Reza?”
Ia menoleh, dan waktu seolah berhenti.
“Aku dengar kau sakit waktu itu,” katanya, menatap mataku dengan lembut. “Aku datang bukan untuk mengganggu. Hanya ingin tahu… kamu masih menyisakan sedikit ruang untukku?”
Aku memeluknya tanpa kata.
Tapi hidup bukan sinetron. Ayah tetap menolak. Ibuku lebih memilih diam.
Dan kali ini, aku tidak meninggalkan rumah. Aku tetap di sana. Tapi aku juga tidak melepaskan Reza. Kami bertemu diam-diam, mencuri waktu seperti remaja yang takut ketahuan.
Sampai akhirnya aku lelah.
Di suatu malam penuh petir, aku duduk berdua dengan ayah.
“Kalau aku tetap memilih dia, kau akan apa?” tanyaku.
Ayah tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah TV.
“Cinta bukan soal derajat, Yah. Tapi keberanian untuk memilih orang yang membuat kita merasa cukup.”
Ia menatapku tajam, tapi kali ini tidak keras. Hanya letih.
“Kau pikir cinta cukup untuk hidup?” katanya akhirnya.
“Kalau hidup tanpa cinta, apa namanya, Yah?” jawabku pelan.
Dan sejak malam itu, kami tidak lagi bicara tentang Reza. Tapi aku tahu, di balik diam ayah, ada ketakutan. Bukan karena Reza miskin. Tapi karena ia takut kehilangan anak perempuannya karena pilihan yang tak bisa dia pahami.
Dua tahun kemudian, aku dan Reza menikah. Di aula kecil, bukan gedung megah. Tanpa ayah, tanpa ibu. Hanya beberapa teman, dan satu harapan: bahwa cinta bisa mengalahkan luka.
Hingga kini, ayah belum pernah datang menemuiku. Tapi ibu mengirimkan selimut rajutan tangannya, tanpa surat, tanpa pesan. Hanya rajutan hangat yang berbicara: Aku tetap ibumu.
Akhir Cerita:
Aku tidak tahu apakah waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi aku tahu satu hal:
Cinta tak selalu menang. Tapi cinta yang tulus… tidak pernah benar-benar kalah.
Ia hidup dalam keputusan yang kita ambil meski seluruh dunia menentangnya.
Dan dalam pelukan Reza malam itu, aku tahu — aku memilih dengan benar.
📝 Cerita ini menggambarkan kegetiran perjuangan cinta yang tak direstui, namun tetap berjalan dalam diam dan keberanian. Cinta yang tidak sempurna, tapi nyata dan layak diperjuangkan.