Sepiring Nasi di Bawah Langit Tuhan
Aku pertama kali bertemu Mbah Warso di sebuah mushola kecil di ujung desa, tepat selepas azan subuh menggema dari pengeras suara yang serak. Usianya sulit ditebak—mungkin delapan puluh, mungkin seratus. Tubuhnya kecil, kulitnya keriput seperti daun jati di musim kemarau, tapi sorot matanya tajam dan tenang seperti air sumur yang dalam. Hari itu, aku datang…