Di sebuah kamar kontrakan kecil berukuran tiga kali empat meter, cahaya lampu lima watt berkelip seakan ikut merasakan lelah dari pemiliknya. Malam itu udara terasa pengap, ditambah suara hujan yang turun deras membasahi atap seng yang sudah mulai berkarat.
Di sudut kamar, seorang pria muda bernama Ardi duduk termenung. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan matanya sembab karena terlalu sering begadang. Di hadapannya, sebuah laptop tua dengan kipas yang berisik terus menyala, menampilkan layar Excel penuh angka merah.
Ardi baru berusia 27 tahun. Ia baru merintis sebuah perusahaan kecil di bidang jasa digital marketing, dengan impian sederhana: bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain dan membuktikan bahwa anak kampung pun bisa punya usaha sendiri.
Namun, kenyataan selalu lebih keras dari sekadar mimpi.
Hari itu, ia mendapat telepon dari ibunya di kampung:
“Di, kalau bisa, kirim uang buat kebutuhan adikmu sekolah ya. Kalau nggak ada banyak, seadanya saja…”
Nada suara ibunya lembut, tapi Ardi tahu betul, itu adalah bahasa halus dari “kami sangat butuh bantuan.”
Sayangnya, Ardi bahkan sudah menunggak bayar kontrakan dua bulan. Uang di rekeningnya tinggal Rp18.500.
Hidup memang sedang menekannya habis-habisan. Tekanan ekonomi—tekek, orang-orang di lingkungannya menyebutnya. Dan Ardi sedang menjadi salah satu korbannya.
Pagi hari, ia berjualan kopi instan sachet di pinggir jalan untuk sekadar menambah uang makan. Siangnya, ia mencari klien untuk usahanya yang baru, mengetuk pintu demi pintu, menawarkan jasanya, hanya untuk ditolak. Malamnya, ia kembali menatap layar laptop, memikirkan strategi, menulis rencana, walau kepalanya berdenyut karena kurang tidur.
Teman-temannya sudah banyak yang menyerah. Ada yang pulang ke kampung, ada yang memilih kerja serabutan. Tapi Ardi masih bertahan. Baginya, mundur bukan pilihan.
“Kalau aku berhenti, siapa yang akan melanjutkan mimpi ini? Kalau aku menyerah, apa aku akan kembali jadi kuli bangunan seperti dulu?” bisiknya lirih pada dirinya sendiri.
Suatu malam, hujan deras kembali turun. Atap seng kontrakannya bocor, menetes tepat di atas laptop tuanya. Ardi cepat-cepat memindahkannya ke tempat aman, tapi air tetap mengenai buku-buku catatan yang penuh coretan rencana bisnis. Ia hanya bisa mengeringkannya dengan kain.
Tangannya gemetar. Dadanya sesak.
“Ya Allah… kenapa selalu begini? Aku cuma ingin hidup lebih baik, ingin bantu ibu, ingin usahaku jalan. Kenapa rasanya semua pintu tertutup?” air matanya jatuh.
Namun, beberapa menit kemudian, ia menyeka wajahnya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak hancur. Ada api kecil yang terus menyala meski hampir padam.
“Aku harus bertahan. Kalau aku berhenti, semua sudah selesai. Aku bisa miskin, tapi aku nggak boleh kehilangan semangat.”
Kalimat itu ia tulis di kertas, lalu ia tempel di dinding kontrakan yang lembab.
Keesokan harinya, Ardi berjalan kaki hampir sepuluh kilometer untuk menemui seorang calon klien. Ia tak punya ongkos naik angkot. Pakaiannya sederhana, sepatu yang sudah robek di bagian samping, tapi senyumnya tetap ia usahakan ramah.
Klien itu menatapnya dengan ragu.
“Kamu masih baru ya? Bisa dipercaya nggak usahamu ini?”
Ardi menarik napas dalam. “Pak, saya memang baru. Perusahaan saya kecil, modal juga terbatas. Tapi saya berjanji akan kerja lebih keras daripada orang lain. Saya tidak punya apa-apa selain kerja keras dan kejujuran. Kalau Bapak kasih kesempatan, saya akan buktikan.”
Klien itu terdiam. Lalu berkata, “Oke. Saya kasih kamu proyek kecil dulu.”
Malam itu, Ardi pulang dengan kaki melepuh, tapi hatinya seperti menyala. Ia mendapatkan klien pertama setelah berbulan-bulan mencoba.
Hari-hari berikutnya masih berat. Proyek itu nilainya kecil, bahkan tidak cukup untuk menutupi hutangnya. Tapi bagi Ardi, itu adalah tanda bahwa perjuangan tidak sia-sia.
Ia bekerja siang malam, mengerjakan proyek itu dengan sepenuh hati. Bahkan ketika listrik kontrakan sempat diputus karena menunggak, ia tetap mencari cara—mengerjakan di warung internet, membawa laptopnya yang sekarat.
Di satu malam yang hening, setelah menyelesaikan laporan untuk klien, Ardi menatap langit-langit kamar. Tubuhnya sakit semua, tapi ada rasa hangat di dada.
“Mungkin aku belum berhasil, tapi aku sedang berproses. Aku sedang menanam benih. Suatu saat, benih ini pasti tumbuh.”
Beberapa bulan kemudian, kabar baik datang. Klien pertamanya puas dengan hasil kerja Ardi dan merekomendasikan jasanya ke teman-temannya. Perlahan, satu per satu klien mulai datang.
Ardi masih hidup sederhana. Ia masih sering hanya makan nasi dan garam. Masih menahan lapar kalau uang habis untuk bayar internet. Tapi di balik semua penderitaan itu, ia melihat secercah harapan.
Yang membuat orang merinding adalah satu hal: meski hidup menekannya habis-habisan, meski hampir tidak ada lagi alasan untuk bertahan, Ardi tidak pernah kehilangan semangat.
Ia percaya, di balik setiap malam yang gelap, selalu ada fajar yang menunggu.
Dan ia berjanji, ketika nanti usahanya besar, ia akan menolong orang-orang yang dulu pernah merasakan tekek seperti dirinya.
Tahun-tahun berjalan. Usahanya tumbuh. Dari kontrakan kecil, ia akhirnya punya kantor sederhana. Dari laptop tua, kini ia mampu membeli perangkat baru. Dari satu klien, kini ada puluhan yang percaya padanya.
Ardi tidak lupa pada masa-masa gelap itu. Justru ia selalu menceritakan kepada karyawannya tentang hari-hari ketika ia hanya punya Rp18.500 di rekening, tentang malam saat atap bocor membasahi catatan bisnisnya, tentang langkah kakinya yang melepuh demi menemui klien pertama.
Ia berkata dengan suara bergetar:
“Kalau kalian merasa hidup menekan habis-habisan, jangan menyerah. Ingat, kadang api terbesar justru lahir dari kayu yang hampir habis. Jangan biarkan tekek membunuh semangat kalian. Sebab, semangat itu satu-satunya yang bisa membuat kita tetap hidup.”
Dan setiap kali Ardi mengucapkan kata-kata itu, ada yang meneteskan air mata. Karena mereka tahu, ia tidak sedang bercerita untuk menghibur. Ia sedang bercerita tentang luka yang benar-benar nyata.
Kata akhir:
Kehidupan memang sering memberi kita ujian berat, terutama ketika ekonomi menghimpit. Tapi seperti kisah Ardi, selama api semangat itu tidak padam, harapan akan selalu ada.