Langit Jakarta sore itu berwarna kelabu, seperti meniru hati yang sedang aku bawa kembali ke kota ini. Tiga tahun berlalu, tapi langkahku masih mengarah ke tempat yang sama — tempat di mana semuanya pernah terasa sempurna, lalu runtuh tanpa peringatan.
Aditya.
Namanya masih tinggal di sela-sela ingatan, seperti bau kopi yang menempel di baju setelah duduk lama di kafe. Aku pikir waktu akan membersihkannya, tapi ternyata tidak. Mungkin karena luka itu tidak pernah benar-benar sembuh. Dan hari ini, aku kembali bukan karena ingin — tapi karena perlu.
Aku turun dari taksi dan berdiri di depan gedung tinggi tempat aku dulu bekerja. Mataku menyapu jendela lantai tiga, kantor pemasaran tempat pertama kali aku bertemu dia. Dulu, senyum itu yang membuatku bertahan di Jakarta. Kini, hanya kenangan yang tersisa.
Pertemuan kami sederhana. Aku pegawai baru yang masih canggung, dia senior yang mengajarkan semuanya dengan sabar. Suaranya tenang, dan caranya menyebut namaku… entah kenapa selalu membuat detak jantungku berubah ritmenya. Aku tahu aku jatuh cinta. Dan yang lebih gila lagi, dia membalasnya.
Kami mulai sering pulang bersama, makan siang bareng, dan mengirim pesan panjang setiap malam. Hal-hal kecil seperti itu, yang dulu membuatku merasa sangat berarti. Aku ingat bagaimana dia mengusap kepalaku dan berkata, “Tunggu aku, Ran. Tiga tahun lagi, aku siap menikahimu.”
Dan aku? Aku percaya. Bodoh sekali ya, betapa mudahnya hati ini dijebak kata-kata manis.
Hubungan kami berjalan hampir dua tahun. Awalnya, segalanya terasa seperti film romantis. Tapi perlahan, aku mulai merasa menjadi penonton, bukan lagi pemeran utama. Dia sering lembur, ponselnya mulai dikunci, dan aku hanya bisa menebak-nebak dari balik diamnya.
Aku tidak menyerah. Aku bertanya pelan-pelan, aku mencoba mengerti. Tapi seperti mengejar bayangan, jawabannya selalu kabur.
Hingga suatu malam, semuanya pecah.
Dia lupa logout dari laptop kantor. Aku tidak niat membuka, tapi notifikasi muncul, satu pesan dari seseorang bernama Nadine. Saat kubaca, dunia seperti berhenti berputar.
“Thanks ya, semalam luar biasa. Kamu gak berubah… kamu tetap Aditya yang aku sayang.”
Aku mematung. Menolak percaya. Tapi fakta itu telanjang di hadapanku, tidak butuh penjelasan.
Aku menatap Aditya malam itu dengan mata yang penuh amarah dan air mata. Dia memelukku, menangis, berlutut, berjanji akan mengakhiri semuanya. Katanya itu masa lalu. Katanya, hanya aku yang dia cinta.
Dan aku? Aku bodoh, lagi-lagi percaya.
Beberapa bulan kemudian, di hari ulang tahun kami yang ketiga, aku menerima undangan pernikahan. Namanya tertera jelas di sana: Aditya & Nadine.
Bukan mimpi. Bukan gurauan. Dia benar-benar menikahi wanita yang katanya sudah dia tinggalkan. Tanpa satu pun kata perpisahan padaku. Tanpa kejelasan.
Aku kirim pesan malam itu.
“Kenapa kamu tega?”
Tak pernah dibalas.
Beberapa hari setelah pernikahannya, hanya ada satu chat darinya yang masuk:
“Maaf, aku memilih yang sudah aku kenal lebih lama. Semoga kamu bahagia.”
Aku menangis selama dua minggu penuh. Lalu aku pergi. Keluar dari pekerjaan. Pindah ke Bandung. Mulai hidup baru dengan luka yang masih basah.
Tiga tahun, aku mencoba mengobati luka itu. Pelan-pelan. Setiap harinya seperti berlatih berjalan dengan kaki pincang. Ada hari di mana aku benci semuanya. Ada hari di mana aku mulai berdamai. Aku menulis, membuka bisnis kecil, dan bertemu orang-orang baru. Tapi selalu ada ruang kosong yang tidak pernah bisa diisi siapa pun.
Sampai hari ini.
Aku kembali ke Jakarta karena ada reuni kantor. Bukan karena ingin bertemu dia — tapi mungkin, sebagian kecil dari diriku ingin tahu, apakah dia bahagia?
Reuni itu seperti mesin waktu. Banyak wajah familiar, tawa yang dulu pernah mengisi hari-hariku. Dan di pojok ruangan itu… dia berdiri. Aditya. Sendirian.
Aku menghindar, tapi dia melihatku. Matanya mengejar langkahku. Lalu ia datang mendekat. Membawa senyum yang dulu pernah kulindungi sepenuh hati.
“Rania… kamu kelihatan bahagia,” katanya pelan.
Aku menatapnya. Tidak lagi dengan cinta. Tapi dengan keberanian yang dulu tak kumiliki.
“Aku memang bahagia. Tanpamu.”
Dia mengajak bicara. Kami duduk di bangku taman dekat kantor. Tempat yang dulu menjadi saksi banyak janji.
“Aku cerai sama Nadine,” katanya tiba-tiba.
Aku hanya mengangguk. Tidak ingin tahu alasan, karena luka itu sudah cukup dalam untuk digali lagi.
“Aku nyesel, Ran…”
“Terlambat,” jawabku. “Kamu gak cuma menghianati aku, Dit. Kamu menghancurkan seseorang yang percaya penuh sama kamu.”
Dia menunduk. Mungkin merasa malu. Atau mungkin menyesal karena hari ini aku berdiri tegak, bukan lagi wanita yang dulu menangis di kamar kecil kantor.
“Aku gak minta dimaafin,” katanya akhirnya.
“Bagus,” aku tersenyum tipis. “Karena aku gak datang untuk memaafkanmu. Aku datang untuk memastikan bahwa aku sudah selesai.”
Aku bangkit berdiri. Menatap langit yang masih kelabu tapi kini terasa berbeda.
“Terima kasih karena sudah menghancurkan aku waktu itu, Dit. Karena itu, aku belajar mencintai diriku sendiri. Hari ini aku pulang… tapi bukan untuk kamu. Untuk aku.”
Malam itu aku pulang ke Bandung dengan hati yang tenang. Tidak ada tangis, tidak ada sesal. Hanya satu perasaan: aku telah memenangkan pertarungan paling penting — melawan luka yang dia tinggalkan.
Karena cinta sejati bukan tentang bertahan, tapi tentang tahu kapan harus pergi.
Dan aku, akhirnya benar-benar pulang…
Tanpa dia.