Aku pertama kali bertemu Mbah Warso di sebuah mushola kecil di ujung desa, tepat selepas azan subuh menggema dari pengeras suara yang serak. Usianya sulit ditebak—mungkin delapan puluh, mungkin seratus. Tubuhnya kecil, kulitnya keriput seperti daun jati di musim kemarau, tapi sorot matanya tajam dan tenang seperti air sumur yang dalam.
Hari itu, aku datang sebagai relawan. Niatnya ingin mendata warga lanjut usia penerima bantuan. Tapi pertemuanku dengan Mbah Warso tak sekadar soal formulir dan tanda tangan. Ia memberiku sesuatu yang tak tercatat di kertas mana pun: keraguan atas doa-doaku yang selama ini kulafalkan dengan terburu-buru.
“Sampeyan tau, Le,” katanya pelan, “Tuhan itu bukan cuma yang dicari waktu butuh. Dia itu… yang tinggal diam waktu kita marah pada takdir.”
Aku diam. Entah kenapa, pernyataan itu menghantam seperti petir yang jatuh di ladang kering.
Konflik yang Membangun:
Aku tinggal di kota, hidup dari pekerjaan menulis konten motivasi yang bahkan sering tak kumengerti. Klien-ku perusahaan besar, bayarannya lumayan. Tapi entah kenapa, setiap tulisan kututup dengan doa klise: semoga sukses, semoga berkah, semoga kaya.
Dan anehnya, aku sendiri tak merasa berkah. Hatiku kosong.
Setelah pertemuan pertama itu, aku beberapa kali kembali ke desa. Mbah Warso selalu menungguku dengan senyum ringan dan segelas air sumur yang disuguhkan seperti anggur terbaik.
“Le,” katanya suatu malam, “aku dulu marah banget sama Gusti Allah. Marah yang sampai aku lempar sajadah keluar rumah. Tapi Dia malah ngasih aku hidup yang lebih panjang, biar aku bisa paham, bahwa marahku itu cuma bagian dari proses mencintai-Nya.”
Aku menatap wajahnya. Di keningnya ada bekas sujud yang menghitam, dan matanya, oh, matanya… seperti menyimpan laut yang tak pernah mengering.
“Kehilangan istri dan anak dalam satu malam… itu bukan cobaan kecil, Le. Tapi ternyata aku masih hidup. Masih bisa shalat. Masih bisa nyuapin anak tetangga yang yatim.”
Aku mulai menyadari sesuatu. Bahwa spiritualitas bukan hanya terletak pada hafalan doa atau ibadah yang tepat waktu. Tapi pada kemampuan untuk duduk diam, merelakan, dan tetap menyapu halaman meski hati porak-poranda.
Klimaks yang Menyentuh:
Suatu malam, Mbah Warso tak muncul di mushola. Warga bilang beliau jatuh pingsan saat menyapu daun mangga di halaman rumahnya.
Aku mendatanginya. Ia terbaring lemah, namun tetap tersenyum. Di samping tempat tidurnya, ada Al-Quran lusuh dan sepotong kertas dengan tulisan tangannya.
“Le…” katanya lirih. “Aku mau titip sesuatu. Bukan uang. Bukan barang. Tapi doa.”
Aku mengangguk, nyaris menangis. “Doa seperti apa, Mbah?”
Ia menarik napas panjang.
“Doa untuk mereka yang marah pada Tuhan. Yang kecewa karena hidupnya tak seperti harapan. Katakan pada mereka… Tuhan bukan tempat transaksi. Dia rumah untuk pulang, meski kita bawa luka yang paling busuk sekalipun.”
Esok paginya, kabar itu datang. Mbah Warso wafat dalam tidurnya. Tenang. Seperti doa yang selesai dibaca dengan sempurna.
Penutup yang Memberi Kesan Mendalam:
Aku kembali ke kota. Tapi dunia terasa berbeda. Tulisanku kini tak lagi dihiasi kalimat motivasi yang hambar. Aku menulis tentang kegagalan, tentang kecewa yang manusiawi, tentang malam-malam panjang ketika orang hanya bisa menangis di dalam hati sambil bertanya, “Tuhan, Kau ada?”
Dan di setiap tulisanku, kututup dengan satu kalimat yang selalu Mbah Warso ucapkan:
“Kalau kau masih bisa marah kepada Tuhan, itu berarti kau belum benar-benar pergi darinya.”
Dari mushola kecil di ujung desa, dari seorang lelaki tua yang kehilangan segalanya, aku belajar bahwa spiritual bukan tentang menjadi suci—tapi tentang berani menatap langit dengan hati yang hancur, lalu berkata, “Aku tetap di sini, Tuhan. Aku tak lari.”