Warung Kopi Bu Narti, Tempat Segala Cerita Berawal
Namaku Rafi. Umur 29. Status? Sudah tidak berharap.
Setiap malam aku duduk di warung kopi pinggir jalan dekat lampu merah Pasar Rejo, di kursi plastik yang kakinya udah miring sebelah karena dipakai buat narik gerobak.
Warung itu bukan sembarang warung.
Itu tempat aku jatuh cinta, dan tempat aku jatuh lebih keras daripada harga kripto tahun lalu.
Bu Narti, pemilik warung, udah kayak ibu kedua. Beliau tahu semua yang terjadi di hidupku, termasuk soal dia… si cantik penjaja pulsa sebelah warung, Namira.
Awalnya biasa aja, Om…
Tiap malam aku ngopi sambil liatin dia dari kejauhan. Awalnya cuma satu gelas kopi, terus dua, sampai akhirnya aku sadar: bukan kopinya yang bikin nagih, tapi senyumnya.
“Namira, teh kamu tumpah tuh,”
“Eh maaf, mas. Kamu siapa ya?”
…dan begitulah awal kehancuranku.
Tertawa dalam Sunyi, Menangis dalam Kopi
Setiap malam aku berusaha ngobrol. Bawain gorengan, bantuin bersihin meja, kadang sampai nyuci galon biar bisa curi waktu ngobrol. Tapi balasannya… cuma senyuman. Yang setajam pisau dapur Bu Narti.
“Mas Rafi, makasih udah bantu. Tapi aku udah ada yang punya,” katanya suatu malam sambil nyender di tiang listrik, kelihatan syahdu kayak video clip Dewa 19.
Dan aku?
…ya, aku diem sambil pura-pura ngaduk kopi yang udah dingin sejak jam 7 tadi.
“Siapa dia?” tanyaku dengan sisa harapan.
“Namanya Adnan. Dia kerja di bank. Mobilnya HRV. Hidungnya mancung. Gajinya dua digit.”
Seketika, otakku ngebayangin diriku sendiri yang kerja serabutan sebagai penulis caption jualan kaktus online.
Persahabatan, Bawang Goreng, dan Rasa yang Tidak Dibalas
Dulu, aku pernah punya mimpi: nikahin dia di pelaminan yang semua tamunya makan nasi goreng buatan Bu Narti.
Tapi setelah tahu soal Adnan, mimpi itu… berubah jadi mimpi buruk.
Aku masih tetap nongkrong tiap malam, cuma bedanya sekarang aku lebih sering nangis dalam hati sambil nyuapin gorengan ke mulut sendiri.
Kadang Namira tetap duduk di sebelahku, tapi hanya sebagai teman.
Teman yang… terlalu cantik untuk dianggap teman, tapi terlalu menyakitkan untuk diharapkan lebih.
Bu Narti tahu semuanya. Pernah suatu malam dia nyeletuk:
“Nak, kamu tuh kayak nasi goreng semalam. Masih bisa dimakan, tapi udah nggak menarik buat siapa-siapa…”
Pedih? Jelas.
Tapi ya gimana, kadang kenyataan lebih keras dari gigitan cabe rawit gorengan Bu Narti.
Ketika Adnan Datang ke Warung
Malam itu, hujan gerimis. Langit murung. Seperti hatiku.
Aku duduk sendiri, seperti biasa. Namira datang… tapi kali ini, dia nggandeng cowok.
Adnan.
Tinggi. Ganteng. Pake parfum mahal. Senyumnya kayak iklan pasta gigi.
Dia pesan cappuccino… di warung kopi sachetan.
“Mas, bisa cappuccino?” katanya.
Bu Narti cuma senyum sambil kasih kopi kapal api ditambah susu kental manis.
“Ini cappuccino lokal, Mas. Limited edition,” jawab Bu Narti sambil nyengir. Aku hampir kelepasan ketawa.
Tapi saat lihat Namira duduk deket Adnan, tangannya digenggam, aku langsung diem.
Pahit. Lebih pahit dari kopi Bu Narti yang kadang ketuker garam.
Rencana Patah Hati Terbaik: Pindah Kota
Aku sadar, cinta sepihak tuh kayak main uno sendirian. Nggak bakal menang.
Jadi malam itu aku putuskan: aku harus pindah. Harus move on. Harus… cari warung kopi lain.
Bukan karena aku lemah, tapi karena aku terlalu sayang sama diriku sendiri buat terus terluka.
Bu Narti tahu aku mau pergi.
Dia kasih aku satu bungkus nasi goreng buat bekal, plus secarik kertas:
“Jangan nyalahin kopi kalau rasa pahitnya dari harapan yang kamu tanam sendiri. Tapi jangan takut, hidup selalu punya rasa manis… asal kamu tahu kapan berhenti ngaduk.”
— Bu Narti
Aku pergi malam itu. Naik motor tua, berbekal nasi goreng dan hati yang bolong.
Namira? Dia nggak tahu aku pergi. Tapi… mungkin itu lebih baik.
Bersambung ke PART 2:
“Cinta Bertepuk Sebelah Warung: Hidup Baru, Kopi Baru, Luka Lama”