Namaku Rina. Mahasiswi tingkat akhir, baru saja pindah ke sebuah rumah kos di daerah Mergangsan, Yogyakarta. Rumah kosnya tampak kuno, tapi bersih dan terawat. Pemiliknya seorang ibu tua ramah bernama Bu Wirti. Wajahnya lembut, tutur katanya halus, meski ada sesuatu dari sorot matanya yang membuatku tak bisa terlalu nyaman. Seperti seseorang yang menyimpan banyak cerita tapi memilih diam.
Aku mendapat kamar paling pojok, katanya itu kamar kosong terakhir. Ukurannya cukup luas, jendela besar menghadap ke kebun belakang, dan yang paling penting: harganya murah.
“Kalau malam jangan lupa kunci jendela ya, Mbak Rina,” pesan Bu Wirti malam itu.
“Iya, Bu,” jawabku singkat sambil tersenyum.
Malam pertama aku lewati dengan cukup tenang. Tapi mulai malam kedua, semuanya berubah.
Sekitar pukul dua pagi, aku terbangun. Tidak ada suara keras atau mimpi buruk. Hanya… perasaan. Perasaan kalau aku tidak sendirian di kamar itu.
Aku membuka mata pelan. Lampu kamar memang kupadamkan, tapi cahaya dari luar cukup terang masuk lewat sela gorden. Di sudut kamar, dekat meja belajar, aku melihat sesuatu.
Bayangan.
Tegak diam. Tidak bergerak. Tapi jelas bukan bayangan benda atau pantulan. Aku menahan napas, mencoba memastikan. Tapi ketika aku mengedip, bayangan itu… hilang.
Keesokan harinya, aku coba mengabaikannya. Mungkin hanya efek lelah dan suasana baru.
Tapi malam-malam berikutnya makin tak wajar. Aku sering terbangun tepat pukul 02.13. Bukan 02.10 atau 02.15. Selalu 02.13. Tubuhku dingin seperti ditimpa embun dini hari. Dan setiap kali aku membuka mata… aku merasakan ada yang menatapku dari sudut kamar itu.
Hingga suatu malam, aku nekat menyalakan kamera handphone dan merekam kamar saat aku tidur. Aku penasaran, apakah ada sesuatu yang bisa kulihat esok pagi.
Dan memang ada.
Rekaman itu menampilkan diriku yang tertidur. Tapi di menit ke-31, layar bergoyang sedikit. Lalu muncul sosok bayangan—tinggi, berambut panjang, mengenakan kain putih kusam. Ia berdiri di samping ranjangku. Menunduk menatapku yang tertidur, lalu pelan-pelan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Saking dekatnya, wajah pucat dengan mata hitam legam itu memenuhi layar.
Aku lempar handphoneku saat itu juga.
Tanganku gemetar. Lututku lemas. Aku ingin kabur malam itu juga, tapi tubuhku membeku di tempat. Seperti ada sesuatu yang menahan.
Pagi harinya, aku memutuskan bicara pada Bu Wirti.
“Bu… kamar saya… kayaknya aneh. Saya sering lihat bayangan… dan direkam pun ada sosok, Bu.”
Bu Wirti terdiam. Lalu menarik napas panjang.
“Itu kamar memang… punya cerita, Mbak Rina.”
“Ada apa, Bu?”
Bu Wirti menatapku lama, seolah sedang mempertimbangkan apakah aku cukup kuat untuk mendengar kisahnya.
“Dulu, sebelum jadi kos, rumah ini ditinggali keluarga kecil. Suami-istri dan anak perempuan mereka yang masih SMA. Anaknya pendiam, jarang keluar kamar. Tapi suatu malam, gadis itu ditemukan gantung diri di kamar yang Mbak tempati sekarang.”
Aku menelan ludah. Tenggorokanku mendadak kering.
“Orang tuanya pindah setelah itu. Rumah ini kosong lama. Waktu saya beli dan jadikan kos, kamar itu… selalu sepi. Beberapa yang menempati, tidak betah. Ada yang sakit, ada yang mimpi buruk terus. Tapi saya diam saja. Sampai akhirnya lama kosong. Dan… entah kenapa saya kasih ke Mbak Rina.”
Aku terdiam.
“Namanya Alin,” lanjut Bu Wirti pelan. “Gadis itu. Meninggal di kamar itu. Waktu ditemukan… tubuhnya sudah membiru. Tapi yang paling aneh, matanya terbuka lebar. Seolah masih menatap siapa pun yang melihatnya.”
Aku memutuskan untuk pindah. Hari itu juga. Tapi Bu Wirti menahanku.
“Tunggu dulu. Kalau Mbak pergi sekarang, mungkin dia ikut. Mbak harus pamit.”
“Pamit?”
“Iya. Panggil namanya. Minta izin untuk pergi. Jangan cuma kabur.”
Malam itu, untuk terakhir kalinya, aku tinggal di kamar itu. Dengan pintu tertutup dan lampu menyala, aku duduk di ujung ranjang.
“Alin… maaf ya kalau aku ganggu selama ini. Aku cuma numpang. Aku nggak tahu kamu masih ada di sini. Tapi aku mau pergi. Aku harap kamu tenang… dan aku bisa tenang juga.”
Suasana kamar mendadak hening. Angin dari jendela berhenti. Udara berubah dingin, lebih dingin dari biasanya.
Lalu kudengar suara.
Pelan. Seperti napas.
“Jangan tinggalkan aku sendirian lagi.”
Aku lari malam itu juga.
Setelah keluar dari rumah kos itu, aku merasa sedikit lega. Tapi kadang, di malam yang sunyi… saat jam menunjukkan 02.13, aku masih merasakan ada sesuatu yang berdiri di sudut kamar baruku. Diam. Mengawasi. Seolah… belum selesai.
Dan entah mengapa, sejak saat itu… aku tidak pernah bisa merekam diriku saat tidur lagi. Entah karena takut… atau karena tahu, aku bukan satu-satunya yang akan terlihat dalam video itu.