Aku selalu percaya bahwa hidup ini seperti sistem yang bisa dirancang — asal tahu logikanya, semuanya bisa berjalan lancar. Aku ahli IT, otakku dipenuhi algoritma dan kode, tetapi hidup… hidup tak semudah program yang bisa di-debug sekali jalan. Tahun 2025 jadi titik paling berat dalam hidupku, titik yang membuatku nyaris menyerah — bukan karena aku tak mampu, tapi karena aku merasa sendirian di tengah runtuhnya harapan.
Aku tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah. Kota kecil dengan aroma tembakau yang masih menggantung di angin, tempat di mana langit bisa jernih dan suram dalam satu waktu. Dan di bawah langit itu, aku sedang diuji — bukan oleh komputer, tapi oleh kehidupan yang menertawakanku di balik setiap kegagalan.
Aku punya mimpi besar. Aku ingin sukses. Bukan sukses biasa. Aku ingin membuktikan pada dunia bahwa aku bisa menciptakan sesuatu yang besar, membangun sistem, menciptakan teknologi, dan hidup dari hasil keringat sendiri. Tapi saat dompet menipis, utang menggunung, dan suara tangisan anakku terdengar saat malam — semua impian itu berubah menjadi beban.
Pagi itu, aku duduk di beranda rumah kontrakan kami. Lantai semen yang mulai retak dan tembok yang mengelupas jadi saksi bisu pertarunganku dengan rasa malu dan gagal. Aku tak tahu harus bilang apa pada istriku lagi. Dia selalu berusaha tersenyum, menyembunyikan lelahnya, padahal aku tahu — dia pun takut.
“Mas, kamu belum makan?” tanyanya lembut.
Aku hanya menggeleng. Tenggorokanku terasa kering. Tapi bukan karena haus.
Dia duduk di sebelahku, menggenggam tanganku. “Aku percaya kamu bisa. Tapi kamu juga harus percaya.”
Aku terdiam. Entah kenapa, kalimat sesederhana itu bisa membuat mataku basah.
Hari-hari berikutnya aku jalani dengan berat. Proyek tak kunjung datang. Orang-orang yang dulu memujiku karena skill IT-ku, kini pelan-pelan menjauh. Telepon jarang berbunyi. Email kosong. Sementara utang listrik makin menumpuk.
Dalam keputusasaan itu, aku memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang bisa memberiku arah.
Purwoyo.
Orangnya sederhana, tapi cara berpikirnya dalam. Kami duduk di warung kopi sederhana, saat senja menggantung di langit desa.
“Cep,” katanya sambil menyeruput kopi. “Kamu ini pintar. Tapi kadang orang pintar terlalu banyak mikir. Uang itu bukan soal logika doang, tapi keberanian dan tindakan juga. Coba pikirkan, apa yang bisa kamu lakukan sekarang dengan yang kamu punya?”
Aku menghela napas. “Aku punya kemampuan buat sistem, aplikasi… Tapi nggak ada modal. Dan pasarnya kayaknya sepi.”
Purwoyo tersenyum. “Justru saat orang lain tidur, kamu bangun. Waktu krisis, itu ladangnya peluang.”
Dari dia, aku mulai belajar untuk berpikir bukan hanya dari sisi teknis, tapi juga dari sisi manusia. Bahwa sistem tak akan jalan tanpa sentuhan emosi, tanpa memahami siapa yang akan memakainya.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan Purwono. Karakternya lebih keras. Gaya bicaranya meledak-ledak, tapi hatinya tulus.
“Kamu ini laki-laki, Cep! Jangan kayak anak kecil!” bentaknya saat aku curhat soal utang. “Kalau kamu bisa bikin sistem buat orang lain, kenapa kamu nggak bikin sistem buat dirimu sendiri? Sistem keuangan. Sistem hidup. Atur napasmu, jangan panik. Satu-satu. Selesaikan satu masalah dulu.”
Meski kata-katanya kasar, tapi tamparannya justru menyadarkanku. Aku mulai menyusun ulang hidupku, seperti merancang kembali arsitektur database yang porak-poranda. Aku tulis ulang rencana. Aku mulai dari membuat ulang portofolio, promosi kecil-kecilan, bahkan bikin konten tutorial di TikTok dan YouTube agar dikenal lagi.
Namun semua itu tetap terasa berat… sampai suatu malam, aku menerima pesan suara dari Rasmono, S.H — seorang sahabat sekaligus panutanku.
“Cecep, kamu harus jadi orang besar. Kamu itu bukan sembarangan. Kadang, Allah bikin kamu jatuh bukan karena kamu lemah, tapi karena Dia tahu kamu bisa bangkit lebih tinggi.”
Suara beliau seperti angin segar yang masuk ke ruang dadaku yang pengap. Saat aku putar ulang rekamannya untuk keempat kalinya, air mataku tak tertahankan. Aku merasa seperti anak kecil yang akhirnya dipeluk setelah lama tersesat.
Malam itu juga, aku berdiri di depan cermin. Wajahku terlihat lelah, mata cekung, pipi sedikit mengempis. Tapi ada cahaya di mata yang tak pernah aku lihat selama ini — tekad.
“Masih ada aku,” bisikku pada bayanganku sendiri.
Dan istriku… Ah, dia adalah cahaya yang tak pernah padam. Ketika aku merasa dunia gelap, dia menyalakan lilin. Saat aku ingin menyerah, dia menggenggam tanganku erat.
“Mas, aku enggak butuh rumah besar atau mobil mewah,” ucapnya suatu malam. “Aku cuma mau lihat kamu bahagia dan percaya pada dirimu sendiri.”
Kalimat itu… seperti peluru cinta yang menembus hatiku yang lelah. Aku tak akan menyerah. Bukan hanya untukku. Tapi untuk dia, untuk anak kami, untuk semua yang percaya padaku.
Hari ini, aku masih di Purbalingga. Hidup belum sepenuhnya mudah. Tapi langkahku lebih mantap. Aku mulai mendapatkan beberapa klien. Sistem kecil yang kubangun mulai dipakai di beberapa UMKM lokal. Aku bahkan diundang ke sebuah podcast lokal untuk bicara soal teknologi dan perjuangan.
Aku belum sukses. Tapi aku dalam perjalanan menuju ke sana. Dan yang lebih penting, aku tak lagi merasa sendiri.
Kadang, hidup bukan soal seberapa cepat kita sampai, tapi siapa yang tetap berdiri saat semuanya hampir rubuh.
Dan aku — Cecep Hidayat — akan terus berdiri.
Untuk impian yang ingin kubuktikan.
Untuk diriku sendiri.
Dan untuk mereka yang percaya padaku bahkan ketika aku tak percaya pada diriku sendiri.