“Lagi syuting, sis buat ngusir followers bosan ah!”
Kalimat itu keluar spontan dari bibir Olivia saat kamera TikTok-nya mulai berputar. Sekilas senyuman dan gerakan kamera menuju cermin di kamarnya yang terang lampu LED berwarna ungu muda. Lampu itu jadi simbol—ini bukan sekadar video iseng, tapi bagian dari misi: jadi content creator dengan target viral setiap minggu.
Video pun diupload. Judulnya: “5 Hal Konyol Saat Galau Malam Hari!” Olivia menertawakan dirinya sendiri, ganti filter, menirukan suara dramatis, dan berjaga setiap detik analytics muncul. 3 menit berlalu. View: 500, like: 80. Tapi belum mukjizat viral.
Dia menghela napas panjang. Jam di pojok sudut kamarnya menunjuk pukul 23.45. Kamar yang harusnya nyaman tiba-tiba terasa sempit.
Namaku Olivia—panggil saja Oli. Aku 22 tahun, lulus kuliah jurusan psikologi beberapa bulan lalu dan mencoba ambil jalan baru: bikin konten TikTok. Awalnya cuma buat nyenengin diri, tapi saking banyaknya yang pesan “jadiin aku viral, dong!”, aku mulai serius.
Setiap pagi, aku riset hashtag trending. Siang, syuting video dengan skrip kocak. Malamnya, edit, tambahi musik hits dan teks yang penuh bumbu. Suara notifikasi jadi teman setia tiap beberapa menit.
Temen-temen kuliah juga makin respek. “Wah, udah kayak artis” kata mereka. Sekilas bagus—aku dapat pengakuan. Tapi setiap malam, badan kerasa pegal, kepala pusing. Ditambah hatiku… kosong.
Awal konflik muncul pas ada komentar negative pertama.
“Ngakak sih liat lo gaya lebay.”
“Udah konten receh, mukanya aneh banget, gak ada matinya.”
Aku baca, terus tutup aplikasi. Gelisah menggigit.
“Gua ini buat apa sih?” gumamku sambil pegang kepala.
Di pojok pikiran, aku ingat dulu, waktu Instagram masih rajin diisi quote dan foto kopi sederhana sore hari. Semua hobi itu hilang di tengah update TikTok demi angka. Aku jadi merasa tak jujur sama diri sendiri.
Tapi tekanan promo terus datang. Brand kopi lokal mulai DM minta kerja sama. Brand skincare amajak kolaborasi. Ada imbalan uang. Siapa yang nolak? Buat ikan-ikan tagihan bulanan, kayaknya susah banget.
Malam itu, aku syuting challenge joget, lupa koreo pas tengah lantai kamar, terpeleset. Lutut berdarah, syuting berhenti. Darah mengucur, rasa malu kenapa sampai begini, semua tercermin di kamera mati.
Adikku nyelonong. “Oli, lo baik-baik aja?” suaranya panik, padahal dia baru TK. Aku coba tatap adikku, usap pipinya, pura-pura tersenyum.
“Kena goresan aja, sayang.” jawabku lemah.
Dia misahin HP dari tangan, mataku berkaca-kaca.
Kulihat layar Zoom—video masih live, tapi aku sudah mati rasa.
Beberapa hari berlalu. Aku mutusin satu langkah besar: hentikan semua konten viral. Mulai bikin video sederhana: pagi minum air lemon, sore syuting main gitar, malam baca buku favorit. Bedanya? Posting dengan caption jujur:
“Gue capek jadi orang lain di TikTok. Mau mulai cerita apa adanya.”
Satu jam: view 1.500, like 300. Komentar validasi dateng:
“Aku juga lelah, kak. Makasih udah berani jujur.”
“Lebih betah liat sisi real seseorang.”
Tapi beberapa jam setelah itu… angka stagnan. Malam, aku cek lagi.
View: 2.000
Like: 450
Comment: 22
Tidak jelek, tapi bukan viral.
Notifikasi biasa saja.
Ada rasa lega, meski hatiku mencemaskan:
“Ini berarti berani jujur itu gak dilihat?”
Begitu pagi tiba, aku terima email sponsorship: brand skincare mau tawarkan video “kolaborasi mini-series TikTok”—dengan syarat “bikin konten viral besok juga”. Maksud mereka? Konten catchy, tagar nyeleneh. Tapi bukan itu aku sekarang.
Aku berhenti. Matikan laptop.
Di ruang tamu, Mama duduk dengan secangkir teh.
“Ada apa, Nak?” tanyanya lembut.
Aku ceritain semua—tentang lelah fake persona demi views, rasa haus validasi, kontrak sponsorship yang bikin sesak. Mama diam. Setelah itu, beliau bilang:
“Coba kamu dengar ini.” lalu memainkan playlist lagu favorit masa kuliah.
Suara gitar lembut keluar dan dunia terasa hening. Mama tarik aku peluk.
“Hidup ini bukan tentang seberapa heboh kamu di luar. Tapi seberapa tenang kamu di dalam.”
Aku tak bergeming. Air mata menetes.
Malamnya, aku siapin ide content jujur lagi. Kali ini konsep video panjang:
— Awal: aku tunjukin layar analytics TikTok
— Tengah: aku cerita keperihanku malam-malam
— Akhir: aku syuting diri di kamar membaca buku, bercengkerama sama adik, ngobrol sama keluarga.
Video pun kujeda pas ada jeda dramatic. Kusisipkan teks:
“Viral itu nikmat sesaat, tapi gak selalu bikin bahagia.”
Aku tekan upload dan… menunggu.
Dua jam berlalu, baru 1.200 views. Aku ngerasa kecewa.
Tapi kemudian satu komentar muncul:
“Ikirnya susaaah bangeeeet, Mbak. Salut banget jujurnya.”
Lalu komentar lain:
“Ini malah lebih relate. Gue juga dulu mau viral tapi nyaris bunuh diri.”
Notifikasi berdenyut cepat. Satu, dua, tiga, terus rekomendasi video muncul di For You Page beberapa akun. Di 12 jam: 150 ribu views, 5 ribu like, 300 komentar—semua positif. Banyak yang share ke grup WhatsApp dan story Instagram. Tiba-tiba viral karena kejujuran, bukan karena gimmick.
Aku nangis malam itu. Bukan karena viral, tapi karena tahu: banyak orang merasa lebih lega dengan cerita jujur.
Puncak konflik tentang sponsor datang lewat DM brand skincare.
“Kita kira kamu bakal buat hype TikTok challenge viral, bukan… curhat. Apa kamu ganti pikiran lagi?”
Aku jawab sambil gemetar:
“Maaf, Bu. Aku gak bisa. Aku bukan beli views dengan topeng. Aku mau bantu orang, bukan cuma ditonton.”
Akun brand diam. Lalu balasan singkat:
“Terima kasih atas kejujuran. Kita tetap apresiasi. Semoga sukses.”
Seminggu kemudian, aku duduk dengan Mama dan adik di meja makan.
“Beneran ya, Ma… aku bisa hidup kayak biasa?”
Mama senyum lembut:
“Kamu sekarang lebih tenang. Itu yang utama.”
Aku tatap adikku.
“Ya, kita hidup dengan wajah asli. Adik juga ya…”
Dia tertawa kecil, mengangguk.
Penutup
Sekarang, akun TikTok-ku bukan lagi mengejar viral demi angka. Aku bikin konten real, jujur tentang pengalaman mental health, keseharian sederhana, dan maksud ingin menyentuh hati. Angka tetap naik, tapi jauh lebih alami. Community terbentuk bukan karena sensasi, tapi karena hatinya ‘nyambung’.
Aku tahu: viral itu boilor singkat—seperti kembang api. Tapi ketenangan karena jadi diriku sendiri? Itu seperti pelita kecil yang menyala lama, bimbingin banyak orang.