“Dia cuma temen, kok. Nggak usah mikir yang nggak-nggak.”
Kalimat itu diulang-ulang sama Raka kayak mantra penenang. Tapi entah kenapa, tiap kali dia ngomong gitu, justru jantungku makin ngilu. Bukan karena aku curiga tanpa alasan—tapi karena hatiku, yang dulu penuh kepercayaan, kini berubah jadi semacam pendeteksi kebohongan.
Dan dia…
Udah nggak lolos uji sejak lama.
Namaku Amira.
Istrinya. Sah, sejak lima tahun lalu.
Tapi akhir-akhir ini, aku merasa kayak tokoh latar dalam hidupnya. Apalagi sejak dia aktif banget di Twitter—eh, sekarang namanya X.
Awalnya sih biasa. Niatnya katanya buat promosi bisnis kopi kecil-kecilan yang dia rintis. Tapi lama-lama… timeline-nya mulai dipenuhi mention dan quote dari satu akun yang sama: @heycallmeyu.
Lucu sih, awalnya. Si Yu ini cerewet, witty, suka bikin thread receh soal kopi dan kehidupan. Followers-nya banyak. Bahkan pernah viral sekali dua kali.
Tapi lama-lama, mereka kayak duet yang terlalu mesra di ruang publik.
Terlalu sering balas-balas tweet.
Terlalu nyaman ngobrol panjang lebar sampai dini hari.
Dan yang paling nusuk: Raka nggak pernah bilang dia udah nikah.
Suatu malam, aku duduk di sisi ranjang, nungguin dia pulang. Jam udah hampir setengah dua belas. HP-nya masih nyala, kebuka aplikasinya.
Aku lihat sekilas, bukan maksud ngintip. Tapi apa yang kulihat cukup bikin kepalaku panas.
Tweet dari @heycallmeyu, quote tweet dari Raka:
“@rakalatte: Lo tuh lucu banget sumpah. Kalo deket, udah gue ajak nikah deh.”
Dan dia bales:
“@heycallmeyu: Beneran nih? Ntar baper loh.”
Aku nggak tau lebih sakit mana: isi tweet-nya, atau fakta bahwa itu disukai ribuan orang.
Dan nggak ada satupun yang tahu, bahwa cowok itu… udah punya istri.
Besok paginya, aku nggak bisa nahan lagi.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang di Twitter kalo kamu udah nikah?” tanyaku sambil beresin sarapan.
Raka ngangkat alis, “Buat apa? Lagian, itu kan personal. Nggak semua harus diumbar.”
“Terus kenapa kamu bisa ngetweet ngajak orang lain nikah? Buat lucu-lucuan?”
Dia diam sebentar. “Amira, itu dunia maya. Beda. Nggak usah dibawa ke hati. Aku sayang kamu, itu cukup, kan?”
Sayangnya… rasa sayang yang cuma dikasih di dunia nyata, tapi disembunyikan di dunia maya, rasanya kayak hubungan yang setengah mati-setengah hidup.
Aku mulai menarik diri. Makin sering diem. Makin malas ngobrol. Aku mulai merasa jadi istri di balik layar—padahal dulu, waktu baru nikah, kita tuh kompak banget. Bikin vlog bareng, masak bareng, bahas mimpi punya kedai kopi sendiri. Tapi sejak Twitter merasuk ke hidupnya, aku seperti jadi notifikasi yang di-swipe begitu saja.
Dan hal yang paling nggak masuk akal?
Suatu hari, @heycallmeyu ngetweet begini:
“Ada nggak sih cowok yang udah punya hati tapi belum terikat? Yang bisa bikin nyaman tapi nggak posesif?”
Satu jam kemudian, Raka ngebales:
“Mungkin gue orangnya. Tapi nggak semua hal bisa diungkap sekarang.”
Tweet itu viral. Disukai lebih dari 18 ribu orang.
Aku cuma bisa lihat… dan diam.
Karena kalau aku ngomong, aku takut akan makin menyakiti diriku sendiri.
Hingga akhirnya, pada malam ulang tahunku yang ke-30, puncaknya datang.
Aku masak makanan kesukaan dia, pakai baju yang dia pernah puji waktu anniversary pertama.
Kupasang lilin kecil di meja makan.
Kucoba tetap tenang walau tahu… dia belum pulang.
Jam sembilan malam, pintu belum juga terbuka. Tapi notifikasi dari X masuk terus.
Dan puncaknya?
Live Space dari akun @heycallmeyu — bareng @rakalatte.
Topiknya: “Cinta Tanpa Status, Serius Tapi Nggak Kepemilikan.”
Aku buka.
Suara mereka terdengar di ruang tamu yang sunyi. Mereka ketawa, bercanda, bahas tentang hubungan zaman sekarang yang “bebas tapi terikat secara hati”.
Dan satu kalimat Raka bikin aku roboh pelan-pelan:
“Kadang, orang terdekat bukan berarti yang paling ngerti. Justru kadang, orang yang baru kenal bisa lebih bikin kita hidup lagi.”
Aku matikan HP.
Makanan di meja nggak disentuh.
Air mata turun pelan. Bukan karena sakit… tapi karena aku tahu, aku kehilangan seseorang yang masih berdiri di sisi yang sama, tapi hatinya udah pindah ke tempat lain.
Besok paginya, aku pamit ke rumah Mama. Bawa koper kecil.
Raka cuma diem
“Aku butuh waktu,” kataku.
Dia nggak menahan. Cuma bilang, “Aku ngerti.”
Tapi sehari kemudian, dia ngetweet:
“Terkadang, butuh kehilangan dulu baru sadar siapa yang paling penting.”
Lalu mention @heycallmeyu:
“Thanks for being there.”
Selama dua minggu aku nggak pulang. Aku mencoba menjauh dari semua media sosial, tapi Twitter tetap nyusul ke mana-mana. Temen-temen mention, DM, bahkan ada yang bilang:
“Mir, lo kuat banget. Lo nggak sendiri.”
Rupanya, banyak yang udah mulai curiga. Banyak yang tahu dia udah nikah. Bahkan ada satu akun gosip yang sempet bahas soal “cowok beristri yang flirting terang-terangan.”
Raka akhirnya trending. Tapi bukan karena bangga.
Karena publik tahu dia sembunyikan istrinya, dan ‘temennya’ ternyata lebih dari sekadar temen.
Raka datang ke rumah Mama. Bawa bunga.
Dia duduk di ruang tamu, mukanya lebih tirus.
“Amira… aku minta maaf. Semua salah aku. Aku terlalu asik sama dunia yang ngebuat aku ngerasa diakui, sampai aku lupa siapa yang paling aku sakiti.”
Aku diem.
Dia lanjut, “Aku udah hapus semua tweet, aku udah DM Yu dan bilang aku harus mundur. Aku akan bikin klarifikasi, kalau itu yang kamu mau. Aku mau kita… mulai lagi.”
Aku tatap dia.
Dan untuk pertama kalinya, aku ngerasa… dia bener-bener minta maaf. Bukan karena dia dihukum, tapi karena dia sadar.
Tapi apa cukup?
Malam itu, aku buka akun Twitterku sendiri. Bukan buat drama. Bukan buat klarifikasi. Tapi karena aku tahu, sebagian luka itu sembuh saat kita berani mengakuinya, bukan hanya pada orang lain… tapi pada diri sendiri.
Aku nulis:
“Aku istrinya. Tapi dia bilang aku cuma teman. Sekarang aku temannya, dan aku belajar jadi sahabat terbaik buat diriku sendiri dulu.”
Tweet itu nggak viral. Tapi masuk ke hati banyak orang.
Termasuk perempuan-perempuan lain yang pernah merasa disembunyikan, diremehkan, atau ditinggalkan secara perlahan.
Bukan karena putus… tapi karena dilupakan dari dalam hubungan itu sendiri.
Beberapa bulan berlalu. Aku dan Raka masih komunikasi. Tapi kami memutuskan untuk terapi pasangan dulu. Pelan-pelan. Nggak langsung rujuk. Nggak langsung romantis lagi.
Satu hal yang aku pelajari:
Cinta nggak selalu hilang karena orang ketiga. Kadang, cinta hilang karena kita lupa siapa yang pertama.
Dan sekarang… aku belajar mencintai yang pertama itu lagi.
Diriku sendiri.
Penutup
Kita bisa jadi istri, tapi dianggap cuma teman.
Tapi jangan pernah jadi orang yang kehilangan jati dirinya cuma demi mempertahankan status yang nggak dihargai.
Karena yang layak disayangi…
adalah yang berani mencintaimu tanpa sembunyi.