“Gaji kamu minggu depan ya, sabar dulu. Perusahaan masih recovery.”
Kalimat itu sudah seperti doa harian yang dihafal mati oleh Hendra. Ia bisa mengulanginya dalam tidur sekalipun. Masuk bulan keempat, belum ada sepeser pun gaji yang masuk ke rekeningnya. Namun, tiap kali ia mengetuk pintu kantor Pak Dimas, jawaban yang ia terima tetap sama—dan ekspresi bosnya tetap tenang, seolah tidak ada yang salah dengan semua itu.
Hari itu, matahari terasa menyengat lebih dari biasanya. Hendra menatap layar ponselnya yang retak di sudut kanan. Satu-satunya benda yang masih tersambung dengan dunia luar. Notifikasi dari Instagram masuk—sebuah DM dari temannya yang kerja di agensi digital:
“Bro, lo masih kerja di kantor itu? Gue denger banyak yang belum digaji.”
Hendra menelan ludah. Temannya benar. Tapi ia tidak tahu harus menjawab apa. Di kantor, suasana seperti berjalan di atas bara. Semua diam. Semua pura-pura tidak tahu. Namun setiap mata saling menatap dalam diam—penuh tanya, penuh luka.
Hendra adalah admin media sosial untuk sebuah startup edukasi yang katanya sedang berkembang pesat. Awalnya, ia bangga. Ia yang merancang semua konten, membuat jadwal upload, bahkan jadi talent video TikTok karena tim kecil belum punya banyak kru. Salah satu video yang ia buat bahkan viral—ditonton lebih dari 2 juta kali. Tapi itu semua hanya ilusi. Di balik likes dan komentar positif, dompetnya kosong.
Flashback, 7 bulan lalu…
“Hen, gue yakin banget sama kamu. Kamu punya potensi besar,” kata Pak Dimas saat pertama kali merekrutnya. “Kami emang masih berkembang, tapi semua yang kerja di sini akan tumbuh bersama perusahaan.”
Kata-kata manis itu berhasil menutup logika Hendra. Ia keluar dari agensi besar tempatnya dulu bekerja dengan gaji tetap, demi idealisme: ingin membangun sesuatu dari nol. Ingin punya dampak. Ingin dikenal.
Awalnya semua berjalan baik. Hendra punya ruang untuk berkreasi. Pak Dimas sering memuji hasil kerjanya. Tapi setelah bulan ketiga, semuanya mulai berubah.
Gaji telat. Brief mulai membingungkan. Dan setiap Hendra tanya soal haknya, jawabannya selalu serupa:
“Maaf ya Hen, investor belum cair.”
“Bulan depan pasti ya.”
“Kalau kamu sabar, kepercayaan itu mahal.”
Hendra mulai kehilangan kepercayaan. Tapi yang paling menyakitkan, bukan soal uang.
Melainkan soal rasa… dibohongi.
Puncak Konflik
Malam itu, setelah selesai mengedit konten reels yang harus tayang esok hari, Hendra duduk di atas kasurnya yang tipis. Lampu kosnya remang, dan suara AC tetangga terdengar lebih nyaring daripada pikirannya sendiri.
Tangannya gemetar membuka Google Docs—file itu sudah ia beri judul sejak seminggu lalu: “Surat Pengunduran Diri.”
Tapi ia belum juga mengetik sepatah kata pun.
Ia terlalu takut. Takut keluar dan kehilangan segalanya. Tapi lebih dari itu—ia takut kehilangan dirinya sendiri jika terus bertahan. Setiap hari ia merasa makin mati rasa, makin tak berharga. Ia, yang dulunya berapi-api soal passion, kini hanya manusia yang terus bertanya:
“Apa aku terlalu naif?”
Sampai akhirnya malam itu, ia buka TikTok. Video terakhir yang ia edit—video soal “tips membangun kepercayaan di dunia kerja”—baru saja naik dan sudah ditonton 120 ribu kali. Lucunya, video itu dibuka dengan suara Pak Dimas:
“Di tempat kerja, kejujuran dan transparansi itu segalanya…”
Hendra menatap layar sambil tersenyum getir. Komentar netizen ramai memuji narasi yang menginspirasi. Salah satu komentar terbanyak berbunyi:
“Pemimpin begini nih yang langka! Mantap Pak!”
Ia tak tahan lagi.
Akhir yang Menyentuh
Pagi itu, Hendra datang lebih awal ke kantor. Ia tak membawa laptop, hanya satu map berisi surat pengunduran diri dan bukti rekaman pembicaraan dengan Pak Dimas. Ia tak berniat melaporkan, hanya ingin menutup semuanya dengan kepala tegak.
Ketika Pak Dimas datang, Hendra berdiri dan menyodorkan surat itu.
“Apa ini, Hen?” tanya Pak Dimas, suaranya masih tenang seperti biasa.
“Saya sudah cukup sabar, Pak. Saya percaya sama Bapak. Tapi Bapak enggak pernah benar-benar jujur. Bahkan setelah semua yang saya bantu…”
Pak Dimas membuka surat itu, diam sejenak. “Hen, kalau kamu mau tunggu satu bulan lagi, saya jamin semuanya cair. Kita sudah dapat investor baru.”
Hendra tersenyum, tapi kali ini senyumnya penuh ketegasan.
“Pak, saya sudah cukup kaya—dengan pengalaman dibohongi.”
Ia membungkuk sedikit, lalu berjalan keluar tanpa menoleh ke belakang.
Epilog
Dua bulan setelah itu, Hendra mulai membuka jasa freelance konten kreator untuk UMKM. Perlahan, nama dan reputasinya tumbuh. Ia menggunakan media sosialnya sendiri untuk bercerita—bukan dengan dendam, tapi dengan harapan.
Salah satu postingannya viral. Di situ, ia menulis:
“Kepercayaan itu memang mahal. Tapi jangan bayar pakai harga dirimu sendiri.”
– “Seorang yang pernah dibohongi, dan memutuskan untuk bangkit.”