“Lo beneran mau upload itu? Konyol banget, Jan.”
Suara Adit terdengar geli, tapi juga sedikit prihatin. Ia duduk di pinggir kasur kosanku yang sempit, memegang ponselku sambil menonton ulang video yang baru saja aku rekam.
Aku hanya tertawa. “Biarin aja, Dit. Iseng doang. Lagian cuma 60 detik.”
“Justru itu. 60 detik bisa bikin lo jadi bahan ledekan se-RT TikTok kalau viralnya salah arah,” katanya, lalu menyeruput kopi instan murahan yang sudah mulai dingin.
Aku menatap layar ponselku lagi. Di situ, aku sedang menari kaku di dapur kosan sambil menyanyi lipsync lagu lawas yang dijadikan tren di TikTok. Bukan hal luar biasa, bukan pula sesuatu yang aku banggakan. Tapi entah kenapa, malam itu, aku merasa… pengin aja.
Bukan buat terkenal. Bukan juga buat lucu-lucuan. Mungkin karena capek. Capek kerja sambilan siang malam tapi tetap nggak bisa bayar uang kuliah semester ini. Capek karena di umur 24 tahun, aku masih ngerasa “jalan hidupku kayak ngambang.”
“Ya udah, lo tanggung sendiri kalau ternyata viral,” ujar Adit sambil geleng-geleng.
Aku menekan tombol upload.
60 detik. Video terkirim.
Aku bukan siapa-siapa.
Nama lengkapku Janitra Mahesa. Teman-teman biasanya manggil Jan. Aku mahasiswa semester akhir yang belum tentu lulus karena skripsi nggak kunjung kelar—lebih tepatnya, nggak pernah mulai.
Dulu aku punya mimpi jadi content creator. Tapi mimpi itu lama-lama terkubur tumpukan realita. Ayahku bangkrut dua tahun lalu, dan sejak itu semua tanggungan kuliah, makan, sampai bayar kos harus kutanggung sendiri. Jadi content creator? Lucu.
Aku kerja sebagai barista di sebuah kafe kecil, juga nyambi ngantar makanan online malam hari. Hidupku? Penuh angka: 120 ribu per hari, 50 ribu sewa kos per minggu, dan minus 7 juta tunggakan UKT di kampus.
TikTok? Aku cuma penonton. Kadang-kadang iseng ikut tren buat lucu-lucuan, tapi nggak pernah mikir buat serius.
Sampai pagi itu.
Aku terbangun karena HP-ku bergetar terus-menerus.
Notifikasi TikTok: 10.9k likes, 437 komentar, 3.128 share.
Mataku nyaris copot. Jantungku langsung deg-degan kayak ditabok dosa masa lalu. Video itu—yang cuma iseng doang, yang aku kira bakal ditonton temen-temen kos doang—viral.
Aku buka komentar.
“Siapa nih cowok random tapi ngakak parah 😭😭”
“Woy, ini kok relate banget ama hidup gue hahaha.”
“Editannya ampas, tapi justru itu yang bikin lucu.”
“Bang, part 2-nya mana!?”
Aku baca sambil bengong. Ini bukan viral karena ditertawakan. Ini viral karena orang-orang… suka. Mereka ngakak. Mereka merasa relate. Mereka minta lagi.
Hari-hari berikutnya, hidupku mulai berubah.
Awalnya cuma 5 video. Lanjut jadi 10. Semua dengan vibe yang sama: sederhana, jujur, kadang norak, tapi selalu ada unsur keseharian yang bikin orang senyum. Aku tetap jadi barista dan ojek online, tapi tiap istirahat aku sempatkan bikin konten.
Tiap malam aku ngedit video di kasur kosan sambil denger suara tetangga sebelah yang suka marah-marah nggak jelas. Dan anehnya, aku bahagia.
Ternyata, bikin orang lain ketawa… bikin aku ngerasa hidup.
Tapi yang namanya dunia maya, nggak semuanya manis.
Suatu hari, salah satu videoku diangkat ke akun gosip besar. Judulnya sensasional: “Content Creator Baru Cari Sensasi, Leluconnya Merendahkan Profesi.”
Itu karena aku bikin video parodi tentang pengalaman jadi barista, pakai dialog yang lebay dan ekspresi konyol.
Komentar pun berubah.
“Ini kayak ngeledek profesinya sendiri.”
“Kontennya makin norak, nggak lucu sama sekali.”
“Ah, udah mulai cari duit kali ya, jadi kontennya dipaksa.”
Aku… down.
HP aku matikan dua hari penuh. Nggak ngonten. Nggak kerja. Aku cuma duduk di kamar, mandang tembok kosong, dan nanya ke diri sendiri:
“Apa aku salah?”
Adit datang bawa nasi padang. “Makan dulu, baru overthinking,” katanya.
Aku tersenyum hambar. “Gue cuma pengin bikin orang ketawa, Dit. Bukan dihujat.”
Dia duduk di sebelahku. “Lo sadar nggak, berapa banyak orang yang bilang konten lo ngebantu mereka ngelewatin hari buruk? Gue lihat ada yang komen, ‘Bang, gara-gara video lo, gue ketawa lagi setelah seminggu stress kerja.’ Itu… bukti lo berarti.”
Aku diam.
“Di TikTok, semua orang bisa ngomong. Tapi nggak semua punya hati buat ngasih energi positif. Lo punya itu, Jan.”
Malam itu, aku buka HP lagi. Lihat lagi video-videoku. Ada satu komentar yang bikin aku nangis:
“Bang, makasih udah jadi ‘teman’ online yang selalu bikin hari-hariku nggak kerasa sendirian.”
Aku memutuskan balik ngonten lagi. Tapi kali ini, aku lebih sadar. Aku mulai belajar storytelling. Mulai kombinasikan humor dan pesan kecil. Kadang tentang perjuangan, kadang tentang mental health, kadang cuma tentang hal-hal kecil yang sering kita abaikan.
Satu waktu, aku bikin video soal pengalaman gagal skripsi dan rasa malu di keluarga. Ternyata, itu yang paling viral. Komentar-komentarnya… penuh tangisan, tawa, dan pelukan virtual.
Empat bulan kemudian, aku diundang ke sebuah acara TikTok Creator Meetup.
Duduk di antara orang-orang keren, aku masih merasa “bukan siapa-siapa”. Tapi saat aku naik ke panggung dan sharing pengalaman, aku bilang:
“Gue bukan lulusan seni. Bukan komedian. Gue cuma anak kos yang lagi berjuang. Tapi ternyata, kejujuran dan keberanian buat tetap jadi diri sendiri—itu bisa bikin orang terhubung.”
Aku pulang malam itu dengan satu pesan di DM TikTok:
“Bang, aku dulu mau bunuh diri. Tapi video abang bikin aku tahan seminggu lagi. Dan sekarang aku udah mulai pulih. Makasih banget, ya.”
Aku nangis. Lama. Di kamar mandi acara hotel itu. Karena baru kali ini aku ngerasa…
aku berguna.
Sekarang follower-ku sudah 1,8 juta. Tapi yang paling berharga bukan angka. Melainkan kenyataan bahwa…
60 detik bisa menyelamatkan hidup orang lain. Termasuk hidupku sendiri.
Dulu, aku iseng. Sekarang, aku sadar:
Bikin konten bukan cuma soal lucu-lucuan. Tapi soal menyampaikan suara hati, menghibur, dan kadang… menjadi teman virtual yang orang butuhkan saat dunia nyata terasa terlalu sepi.
Dan itu semua… berawal dari satu video konyol di dapur kosan.
60 detik yang mengubah hidupku.
Kalau kamu suka cerita ini, kasih tahu aku, Om, biar langsung aku buatin versi narasi buat YouTube atau Medium juga 🙌